Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary

Di Jaman Orba Dituduh PKI Bisa Membuat Karir Seseorang Berhenti Seketika.

30 September 2021   20:52 Diperbarui: 30 September 2022   13:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pagi pada tahun 1971, bulan dan harinya aku tidak ingat. Di dapur hawu, tungku untuk memasak api menyala merah disulut dengan kayu bakar. Nenek duduk di depan tungku itu sambil menjerang air. Aku keluar rumah lewat dapur untuk berangkat ke sekolah. Ketika dilihatnya aku berada di didekatnya ia bangkit dan berdiri lalu berbisik ke telingaku.

"Bapakmu dipanggil tentara, besok atau lusa mungkin akan dibuang ke Pulau Buru."

Aku mendengar dan mengingatnya, tetapi tidak mengerti dengan kata-kata yang dibisikan nenek ke telingaku. Saat itu aku kelas dua SD, tanpa memedulikan bisikan nenek aku berangkat ke sekolah bersama ayah.

Sesampainya di halaman sekolah aku masuk ke dalam kelas. Sementara ayah melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke arah timur ke markas Koramil. Pagi itu ayah tidak masuk bekerja sebagai guru di sekolah tempatku belajar.

Hari itu tetangga yang jaraknya beberapa rumah dari rumahku sedang merayakan khitanan anaknya dengan menanggap wayang golek. Ayah sudah berjanji akan mengajakku menonton wayang siang itu, sepulang sekolah. Tetapi siang itu aku menonton wayang sendiri tanpa ditemani ayah. Sepulang sekolah ayah belum pulang. Di tengah kawan-kawan seusia yang riuh bersorak gaduh seraya bertepuk tangan saat Gatutkaca memukul mundur raksasa, aku terisak. Aku teringat kata-kata nenek tadi pagi.

Menjelang gelap ayah pulang ke rumah. Wajah nenek dan emak penuh tanda tanya. Wajah ayah dingin, tatapan matanya kosong. Aku melongo.

Besoknya ayah berangkat lagi ke markas Koramil. Entah berapa kali ayah dipanggil, aku tidak mengingatnya. Lama-lama ayah berangkat pagi bukan ke markas Koramil tetapi ke sekolah tempatnya bekerja sebagai guru. Dan terus berangkat setiap pagi sebagai pegawai negeri sipil sampai pensiun dengan jabatan terakhir penilik kebudayaan di kecamatan. Jabatan tertinggi yang pernah dicapainya.

Belakangan aku baru mengetahui ayah dipanggil tentara karena dituduh PKI. Ayah selain guru ia aktif juga sebagai seniman kampung. Sehari-hari ayah mengajar di sekolah SD, sepulang mengajar pergi ke sawah sebagai petani penggarap, malamnya -sesekali bermain sandiwara. Tiba-tiba harus berurusan dengan militer. Waktu itu sudah 6 tahun sejak malapetaka yang dikenal dengan pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.

Beruntung ayah sempat diproses secara formal tentang keterlibatannya dalam kegiatan partai terlarang komunis, sehingga ketika tidak ditemukan bukti-bukti yang meyakinkan ayah dibebaskan. Sebelumnya yang dituduh pada hari-hari pertama sejak peristiwa penculikan dan pembunuhan para jendral di Jakarta tengah malam 30 September 1965 yang dituduh PKI langsung diciduk tanpa proses pengadilan. Saat itu dituduh garong atau maling, atau pelacur atau babi masih mungkin mencari selamat. Tetapi kalau dituduh PKI pasti habis. Aku ingat kawan-kawan sekelasku banyak yang kehilangan ayah atau ibu bahkan keduanya karena dibunuh atau setidak-tidaknya dibuang ke Pulau Buru, karena dituduh komunis.

Tidak berhenti sampai di situ. Pada era orde baru semua orang diskrining. Setiap warga yang akan bekerja di pememerintahan, BUMN atau lembaga negara harus lolos skrining "bersih lingkungan" dari pengaruh komunisme. Apabila ada seorang dari orangtua, kakek-nenek, paman-bibi atau saudara lain yang pernah terlibat atau dianggap terlibat dalam kegiatan komunis maka cita-cita luhurnya akan pupus. Sepandai dan sekaliber apapun.

Saat aku dinyatakan lulus seleksi penerimaan pegawai Bank BRI tahun 1989 aku diminta surat keterangan "bersih lingkungan" sebagai syarat bisa diterima sebagai pegawai di BUMN. Gemetar tanganku saat menerima amplop coklat bertuliskan "rahasia" pada sampulnya. Surat tersebut tanpa berani dibuka lalu dibawa ke markas Tentara di Jalan Sumatra Bandung. Di sana berbekal surat tersebut aku diminta menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan seorang perwira TNI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun