Saat kuliah tahun 80-an di Bandung aku kos di Dago, kawasan pemukiman elit di Bandung Utara. Bukan, bukan karena orangtuaku dari kalangan orang berada di kampung tetapi kebetulan Kampus tempat menuntut ilmu berlokasi di daerah itu. Sebelumnya tidak menyangka wilayah tersebut masih menyelipkan sedikit area yang dihuni penduduk Bandung "asli" di mana aku akhirnya bisa menumpang hidup untuk beberapa tahun.
Untuk masuk ke "kampung" tersebut aku harus melalui lorong sempit seperti lubang tikus yang berawal dari Jalan Juanda. Bila ada dua sepeda motor berpapasan, mereka harus berhenti sesaat untuk memastikan kedua stang sepeda motornya tidak saling berciuman, macem semut yang merayap di dinding.Â
Di dalam lorong terdapat tak kurang dari lima belas rumah sederhana berhimpitan yang kesemuanya "disulap" menjadi rumah kos dengan tarif bersahabat. Aku menempati rumah kos yang jaraknya sekitar 100 meter dari mulut lorong, berempat bersama kawan dari Aceh, Medan dan Ciamis.
Aku berjalan kaki untuk sampai di Kampus, melewati Jalan Juanda yang menanjak lalu belok kiri ke kawasan perumahan dosen ITB di perbukitan Dago. Deretan rumah-rumah kuno yang terawat.
Sejak pertama kali melewati komplek perumahan dosen itu lalu mengulanginya berkali-kali saat pergi dan pulang kuliah aku selalu merasa kagum dengan deretan rumah asri tersebut. Di setiap halaman tampak taman dengan bunga beragam warna yang tertata begitu memesona. Bagian depan  ditumbuhi tanaman membentuk pagar hidup. Sementara itu dinding tembok pemisah satu rumah dengan yang lain ditanami tumbuhan merambat, tanaman dolaran.
Â
Ficus pumila.Di tempat lain aku tak pernah melihat jenis tumbuhan merambat sejenis itu. Boleh jadi bibitnya didapat dari luar negri, pikirku. Begitu rapat menutup dinding tembok. Aku pun berandai-andai, bila suatu saat kelak sanggup memiliki rumah di Bandung, ingin rasanya satu dinding pagar temboknya tertutup Ficus pumila.Apa lacur, selepas lulus kuliah kemudian bekerja aku ditugaskan di luar jawa, bukan di Bandung. Dalam beberapa tahun kemudian aku berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota lain. Beruntung setelah 20 tahun merantau akhirnya aku mutasi ke Bandung.
Aku seperti terbangun dari tidur panjang. Impian memiliki rumah yang asri di Bandung rasanya akan menjadi kenyataan, pikirku. Sayang, setelah dihitung dengan sistem bagi kurung dan calculus jumlah tabunganku tidak cukup untuk membeli rumah. Angan-angan pun sirna.
Sampai habis masa tugasku di Bandung tetap tak sanggup membeli rumah. Tetapi anak-anakku berbeda mereka ingin melanjutkan sekolah di Bandung. Akhirnya aku menyewakan rumah di daerah Antapani untuk mereka bisa melanjutkan studi. Sementara aku kembali berkelana ke Sulawesi Selatan selanjutnya ke Kalimantan Barat sampai menerima SK PHK karena usia pensiun.
Mengisi masa pensiun aku pulang ke Bandung menempati rumah kecil yang dibeli dengan pesangon dan sedikit tabungan. Rumah di pinggiran kota yang mewah -meped sawah. Satu dinding tembok pembatas kutanami tumbuhan merambat.
Tabe