"Ma-mi, makan-minum!" teriak sopir di depan. Ia membuka pintu, lalu turun. Dua penumpang di sampingku permisi turun. Kursi di depanku satu orang turun. Istri tertidur lelap dengan putri kecilku dipangkuannya yang juga tidur.
Kubangunkan istriku apakah mau istirahat atau sekedar minum teh di rumah makan. Ia menggeleng. Kami pun bertahan di dalam mobil, hawa dingin menusuk sampai ke tulang.
Aku tengok ke kiri dan kanan untuk mencari tahu posisi lokasi di mana saat ini kami berhenti. Di depan rumah makan itu ada papan nama, di bawah nama rumah makan tertulis alamat: Parapat. Oh, lokasinya di tepi Danau Toba rupanya. Pantas dingin minta ampun.
Setelah lebih dari setengah jam istirahat mobil kembali meluncur. Di Tarutung satu penumpang turun. Aku menengok ke belakang ke bagasi. Tetapi pintu bagasi tidak dibuka. Penumpang yang turun itu tidak menyimpan barang di bagasi, hanya membawa tas kecil yang ditaruh dipangkuannya. Mobil melaju lagi.
Malam makin gelap, suhu makin dingin, mataku makin lengket. Aku bertahan melek, siapa tahu di depan ada satu atau dua penumpang yang turun. Aku masih ingat, nasihat Mama untuk menjaga kopor dan tas.
Terdengar klakson dua kali.
"Tid-tid...!
Aku membuka mata. Hari sudah terang. Kutengok ke belakang ke bagasi hanya tertinggal satu kopor besar dan satu tas, milik kami. Di dalam mobil tinggal bertiga: aku, istriku dan putri kecilku yang masih terlelap. Kubangunkan istriku dan diberitahu kalau sudah sampai di Padangsidempuan.
Ketika turun dari mobil telingaku terasa pekak mendengar bunyi sepeda motor vespa. Tetapi kucari-cari sumber bunyi tak tampak ada sepeda motor vespa kecuali tampak tiga kendaraan mirip bemo.
"Itulah becak! Abang mau pergi ke mana!" Sopir taksi bertanya kepadaku sambil telunjuknya mengarah ke kendaraan mirip bemo itu. Aku pun menyodorkan secarik kertas yang berisi alamat Ridwan Simanjuntak, mahasiswa Fakultas Pertanian, USU murid Pak L. Sitinjak, ayahnya Robert. Sopir taksi itu mengangguk-angguk.
"Cocoklah itu!" teriaknya.