Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Dilema H-4 Bambang Syairuddin

12 Mei 2021   20:48 Diperbarui: 12 Mei 2021   21:37 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi Dilema H-4 ini ditulis oleh penyair atau bahkan sastrawan kita, pak Bambang Syairudin, nama di Kompasiana bambang SYAIRUDIN, alias BAMBANG SY (BAMS), pada 8 Mei 2021 yang lalu, atau H-4 menjelang 1 Syawal 1442 H atau 13 Mei 2021, Idul Fitri besok. Coba simak, nama belakang pak Bambang saja ada kata "Syair"-nya.

Semboyan pribadi pak Bambang adalah: podo tumuju tuwo dewe dewe (mudah-mudahan saya tidak keliru memaknainya: pada menuju usia tua sendiri-sendiri). Dan subjudul puisi ini: proses sinau maneh penulisan cerpen dilema cahaya.

Lalu kenapa saya menulis artikel yang mengupayakan untuk memahami puisi pak Bambang itu? Begini ceritanya:

Saya memiliki beberapa sahabat dari kalangan penyair, di antaranya pak Jose Rizal Manua dan sahabat sekampung dan se-SMA saya, Syamsul Rizal alias Tok Laut alias si Elang Laut, keduanya memiliki kata kedua yang sama pada nama mereka, dan mereka saling bersahabat pula. Sayangnya kami belum pernah bertemu bertiga.

Sejak dulu saya adalah pemerhati bahasa Indonesia, dan dari hari ke hari belajar untuk lebih tertib dalam menggunakan bahasa persatuan kita itu. 

Namun harus saya katakan di sini: Jangan pernah mengharapkan ketertiban yang sama dari para penyair, mereka harus dikecualikan.
Lihat saja bagaimana seorang Sutarji Calzoum Bachri berinteraksi dengan, dan mengolah kata-kata, dan membebaskan kata-kata itu dari maknanya, lalu menuangkannya dalam puisi Tragedi Winka dan Sihka yang pernah saya sebutkan dalam artikel: Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan.

Pengecualian apa yang saya maksudkan? Simak saja baris pertama puisi itu:
iya kudu sinau maneh, harus belajar lagi

Bukan seorang penyair namanya kalau kita bisa langsung menangkap makna di balik puisinya. Kudu, ok, bahasa Jawa, Sunda atau Betawi untuk "harus" (dalam KBBI ada 2 kata kudu, maknanya berlainan dari "harus"), sinau bahasa Jawa untuk "belajar," ada dalam KBBI tapi maknanya "berkilau-kilau," maneh bahasa Sunda yang bermakna: kamu, tapi saya yakin yang digunakan pak Bambang di sini adalah maneh, sinonim meneh untuk "lagi," bahasa Jawa.

Saya bukan mau hiperbolik, namun untuk melewati baris pertama ini saja saya butuh tambahan waktu dan pemikiran untuk sampai pada pemahaman bahwa kata-kata yang digunakan pak Bambang adalah berbahasa Jawa.

Untunglah mulai baris kedua sampai selesai, pak Bambang sudah menggunakan "bahasa Indonesia" sepenuhnya. (Saya beri tanda kutip karena alasan dalam artikel saya: Koreksi dan Keterangan Tambahan atas "Mengais-ngais China di Sunda" dan kita sudah diarahkan pak Bambang untuk memaknai puisi itu seutuhnya melalui baris ke-6:
biarlah pembaca yang menilainya nanti 

Dan sebagai penutup, saya melompat ke bait terakhir:
dengan penilaian dari pembaca
penulis juga harus tetap waspada
karena bisa jadi hanya untuk
menyenangkan saja karena
pembaca tidak tega untuk
mengatakan yang
sebenarnya
(smile)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun