Pernyataan Putra Mahkota Keraton Solo, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram melalui dua unggahannya di medsos, "Nyesel Gabung Republik" dan "Percuma Republik Kalau Membohongi" akhir Februari 2025, masih terus bergulir meski unggahan itu sudah dihapus.
Ucapan putra raja Surakarta Hadiningrat Paku Buwono XIII itu menurut Gusti Moeng -- panggilan akrab Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari -- sangat berpengaruh bagi perkembangan Karaton Surakarta, yang kebetulan sudah matang bebenah merevitalisasi simbol penting karaton Surakarta, Panggung Sanggabuana atas bantuan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon.
"Saya kan mendapat pesan untuk menjaga komitmen bapak (Paku Buwana XII raja Surakarta terdahulu). Tetap bergabung dengan Republik, kecuali Indonesia bubar....," kata Gusti Moeng, yang saya temui di samping bangsal Sri Manganti Karaton Surakarta, Rabu (12.03.2025) lalu. Meski sampai kini tetap mengritik pemerintah, Gusti Moeng yang sempat dijuluki "Putri Mbalelo" (putri raja yang melawan) tetap mengaku setia pada Republik.
Disebut Putri Mbalelo ketika pada 1992 (era Presiden Suharto) Gusti Moeng melawan kehendak Sinuwun Paku Buwana XII ayah dan juga rajanya untuk menjadikan sebagian Keputren Karaton Surakarta sebagai hotel. Hotel di Keputren Karaton Solo ini batal dibangun, dan Gusti Moeng tetap menagih janji pemerintah yang sejak Indonesia merdeka terus menunda status Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
"Kan waktu bergabung (dengan Republik) semua wilayah kerajaan Surakarta dikuasai negara. Wilayah kekuasaan Keraton Surakarta (sebagai penerus kekuasan Mataram Islam dan Majapahit) waktu itu tiga perempat pulau Jawa," kata Gusti Moeng, mengingatkan fakta sejarah bahwa Karaton Surakarta Hadiningrat itu sebelum kemerdekaan Republik Indonesia sudah merupakan negara berdaulat yang menguasai hampir seluruh wilayah pulau Jawa.
Padahal, menurut Gusti Moeng (Gusti Raden Ayu Koes Moertiyah), Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 jelas mengatakan, bahwa "negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-haknya," katanya, "Tetapi kenyataannya sampai sekarang, tidak hanya Surakarta saja tapi seluruh kerajaan Nusantara itu 'dilirwakke'Â (diabaikan) oleh pemerintah. Jumlah (kerajaan nusantara) ada 250 kerajaan yang dulu tercatat di BPUPKI," kata Gusti Moeng.
Waktu penggabungan kerajaan dengan Republik, kata Gusti Moeng, Sinuwun (raja) Paku Buwono XII harus mengulangi lagi maklumat politik pemimpin Republik, karena awalnya eksistensi negara Indonesia tidak diakui oleh dunia saat kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
"Waktu itu, hanya India saja yang mengakui. Maka Sinuwun (PB XII) perlu menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dan menyatakan lagi bahwa betul saya (PB XII) sebagai raja dari keraton Surakarta Hadiningrat menggabungkan wilayah kerajaan saya," kata Gusti Moeng, mengungkapkan kembali fakta yang terjadi di KMB Den Haag (23 Agustus s/d 2 November 1949), empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tetapi nyatanya, setelah penampilan raja Surakarta di Konferensi Den Haag tersebut, Karaton Surakarta seperti "di-coup", menurut istilah Gusti Moeng. Pemerintah Republik tidak pernah menepati janji-janjinya. Termasuk juga, ucapan Presiden Republik yang tertuang dalam Perpres (Peraturan Presiden) No 29 tahun 1964, ketika Soekarno menyatakan  "Semua kebutuhan kraton Surakarta dipenuhi oleh negara,"
"Itu tidak pernah dilakukan...," kata Gusti Moeng. Waktu itu, kata Ketua Lembaga Dewan Adat Karaton Surakarta ini, para abdi dalem itu 'ditari' (ditanya keinginannya), diminta memilih, tetap di urusi kraton atau ikut pemerintahan. Waktu itu dengan aturan yang disampaikan di Perpres itu bahwa "walaupun tetap di dalam kraton, tetap digaji sebagai pegawai negeri sampai pensiun," tulis Presiden Soekarno dalam Perpres No 29/1964 itu. Tetapi komitmen Presiden RI itu tidak dilakukan sampai sekarang.
Daerah Istimewa Surakarta