Pengalaman pertamaku memahami tentang pentingnya memiliki rumah saat kuliah di Amerika. Saat itu kita mengetahui seorang guru besar yang relatif muda namun sudah menulis beberapa buku tebal yang merupakan wajib bagi mahasiswa. Berbeda dengan di Indonesia, penulis buku di AS biasanya mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Pemikiran kita tentunya sang dosen ini pasti mempunyai kekayaan lumayan dari buku-bukunya yang diminati itu.Â
Namun suatu saat sang profesor memberitahukan kepada mahasiswa bahwa pelajaran tambahan yang biasa dia berikan tidak bisa dilakukan hari Sabtu karena dia harus pindah apartemen. Dalam tanya jawab dengan terbuka sang profesor memberitahu bahwa pemilik apartemennya saat itu tidak mau memperpanjang sewa apartemennya.Â
Kita yang dari Indonesia sedikit tercengang, bagaimana sang profesor penulis produktif itu tidak memiliki rumah dan hanya tinggal di apartemen yang disewa. Lebih membuat kita bingung celana jins yang dipakai sang dosen walaupun dipadukan dengan kemeja dengan dasi, terlihat sudah sobek dan ditambal. Namun dalam kesehariannya sang profesor sangat percaya diri dan sangat cerdas, serta sering diundang dalam berbagai seminar nasional AS di samping artikelnya sering muncul di berbagai media. Rupanya membeli rumah bukan segalanya bagi orang-orang di negeri maju.Â
Pengalaman kedua terjadi di negeri Amerika Latin. Kita mengenal beberapa anak muda yang baru lulus perguruan tinggi dan diterima bekerja di perusahaaan asing dengan penghasilan yang lumayan. Â
Namun sudah beberapa kali mereka melakukan perjalanan internasional dengan kredit. Padahal mereka tidak memiliki rumah atau apartemen. Dalam hati kembali lagi berpikir beda sekali dengan orang Indonesia. Biaya perjalanan ke luar negeri itu sesungguhnya sudah cukup untuk membeli rumah atau apartemen.Â
Mereka menganggap bahwa membuka pikiran untuk mengetahui kehidupan di belahan bumi lain sangat penting, sehingga mereka rela meminjam (kredit) untuk bisa melakukan perjalanan liburan ke luar negeri.Â
Pengalaman lain saat di Australia. Saat itu ada pasangan Australia yang setiap tahun dua kali keliling dunia dan sudah beberapa kali mereka lakukan. Suatu saat mereka berceritera baru saja mereka membuat pintu keluar untuk kamar putra mereka yang sudah duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan demikian anaknya bisa bebas keluar dan masuk tanpa melewati pintu rumah mereka. Tanpa sadar saya menyarankan bahwa kalau mereka tidak keliling dunia dua kali saja mungkin sudah bisa membeli apartemen atau rumah untuk anaknya. Tanggapan mereka sungguh mengejutkan yakni bahwa itu tidak akan mereka lakukan karena itu akan membunuh semangat juang anak itu.Â
Kebetulan sejak beberapa waktu lalu saya sudah bisa beli rumah dan mobil dari hasil pekerjaan. Namun dengan tinggal di rumah sewaan dan menggunakan kendaran umum tidak menjadikan saya tidak bisa menikmati kehidupan ini. Memang pandangan keluarga dan masyarakat masih menganggap kehidupan kita aneh, apalagi mereka tahu sudah banyak negara yang kita kunjungi.Â
Yang paling membuat mereka merasa aneh kalau kita datang atau pulang dengan menggunakan kendaraan umum (walaupun sekarang ini sudah lebih nyaman dengan adanya daring (kendaraan dalam jaringan)). Padahal tujuan kita untuk tidak membeli mobil pribadi antara lain untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Â
Jadi generasi milenium tidak apa-apa kalau tidak memiliki rumah atau mobil pribadi, asal kita tetap hidup sehat dan hemat serta penuh perhitungan. Penghasilan kita itu bisa kita gunakan untuk menikmati liburan di luar negeri sehingga mengerti hidup ini dan kita gunakan juga untuk membantu orang lain yang membutuhkan.Â