Singapura merupakan salah satu negara maju di dunia berdasarkan pendapatan per kapitanya, yaitu USD 64.829. Angka ini jauh melebihi pendapatan per kapita Indonesia yang hanya berkisar di angka USD 4.160.Â
Tingginya tingkat perbandingan pendapatan per kapita ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami ketimpangan yang luar biasa terutama dalam ekonomi mikro.
Meski merupakan negara maju, bukan jaminan jika Singapura akan kebal terhadap krisis. Teranyar, Singapura resmi terjun ditelan badai "resesi", di mana Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara bertumbuh negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun.Â
Penyebabnya? Sudah tentu karena Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara dunia.
PDB Singapura pada kuartal 2 tahun 2020 menurun sebesar 12,6% jika dibandingkan dengan kuartal 2 tahun 2019 atau year on year (yoy). Ini menunjukkan, pertumbuhan perekonomian Singapura terjun bebas sebesar -41,2% dari kuartal 1 ke kuartal II tahun 2020.
Menurut sejumlah ahli, resesi yang terjadi di Singapura disebabkan oleh faktor lockdown parsial, di mana strategi ini dulu diklaim dapat memutus mata rantai Covid-19, tetapi justru malah menjadi bumerang bagi ekonomi Singapura sendiri.
Kebijakan lockdown yang diterapkan oleh Singapura sejak bulan April 2020 menghentikan aktivitas sosial dan ekonomi kecuali pelayanan publik yang penting dan vital memang jelas sangat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan dunia usaha Singapura secara negatif.
Salah satu bidang andalan Singapura, yaitu sektor jasa mengalami penyusutan sebesar 37,7% pada kuartal II atau sebesar 13,6% jika dibandingkan pada tahun sebelumnya, tentu semuanya akibat pembatasan atau lockdown pada April hingga Juni 2020. Di bidang konstruksi, Singapura mengalami pukulan telak.
Bayangkan, sektor ini mengalami penyusutan hingga 54,7% dibanding dengan kuartal II pada tahun sebelumnya. Hanya sektor manufaktur yang mengalami peningkatan sebesar 2,5% secara yoy.
Lampu Kuning bagi Indonesia