Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Title Sarjana Tidak Cukup Bisa Jadi Penulis

29 Agustus 2019   17:34 Diperbarui: 5 September 2019   04:00 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.open.edu

Peristiwa-peristiwa dan pengalaman moral dapat memicu kita untuk menulis. Semakin kita berhadapan dengan banyak sejarah yang perlu diabadikan, kita semakin antusias untuk menulis banyak persoalan.  

Membaca artikel-artikel menarik karya kompasianer hebat seperti Tilariapadika, Arnold Adoe si pengamat sepakbola, atau Joko Windoro yang tulisannya barusan saya baca di rubrik artikel utama bikin saya terkagum-kagum. Sebenarnya menulis butuh apa sih? Apakah jadi penulis butuh title sarjana?

Pertanyaan kedua kedengarannya agak miris. Bagi kebanyakan orang menulis sudah tentu butuh title tersebut.   Mana mungkin kurir bangunan bisa nulis tentang isu-isu politik nasional. Paling idenya mentok soal material bangunan. Eiiittss,tunggu dulu! Penulis berkualitas Sakti Wibowo juga mantan kurir bangunan lho. Kalau bukan karena kehebatannya, sudah tidak kita nikmati novel hebat Tanah Retak, sebuah novel sejarah menjelang Perang Jawa 1825-1830. Bahkan dia bisa lebih hebat dari penulis-penulis bertitle istimewa. 

Satu lagi paling menarik, Harper Lee si pemenang hadiah Pulitzer. Tekad kuatnya menjadi seorang penulis membuatnya minggat dari sekolah hukum. Karya besarnya yang masih bisa kita baca sekarang adalah To Kill a Mockingbird. Bahkan penulis-penulis sekelas J.K. Rowling, Andrea Hirata, dan novelis tersohor lainnya tidak pernah sekolah menulis. Lalu, apa sih yang dibutuhkan seorang penulis?

Pertama kali saya berkenalan dengan pujangga sehebat Jokpin waktu kelas satu SMA. Tidak berpapasan, tapi lewat karyanya saya jadi paham siapa itu Jokpin. Waktu itu saya sedang mengikuti kelas matematika. Jam 11 adalah waktu yang kurang tepat untuk belajar kalkulus. Karena kurang kondusif, kelas tampak seperti kubu-kubu yang membentuk kelompoknya masing-masing. 

Kelompok terdepan adalah mereka yang mengikuti pelajaran dengan serius, mereka disebut ilmuan di kelas. Sementara deretan bangku belakang kelas ramai oleh perbincangan tak penting, ada yang tidur-tiduran, bahkan sampai ada yang mendengkur di kelas.

Saya tidak duduk di bangku terdepan, apalagi di belakang. Deretan tengah dengan bangku-bangku kosong membuat saya nyaman membaca buku kumpulan puisi Joko Pinurbo yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Judulnya Baju Bulan. Berhari-hari saya menghabiskan bacaan tersebut. Rasanya tidak cukup dibaca satu atau dua kali. Tiap kali berpergian belum puas rasanya kalau belum membawa Baju Bulan. Saya mencontek beberapa kutipan Jokpin kemudian dituliskan di diary, atau sesekali untuk pemanis surat pena. Entah saya  jatuh cinta sama teman pena atau puisi Jokpin yang saya tulis di dalam surat, entahlah. Ada satu kutipan puisi Jokpin yang paling saya suka.

"Ia ingin masih cantik

di saat langit di dalam cermin berangsur luruh.

Hatinya semakin dekat

kepada yang jauh..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun