Sejak kehadirannya, mobil tanpa sopir/awak (self-driving cars) telah menyita perhatian khalayak. Mobil dengan kemampuan mendeteksi keadaan sekitar dan karena itu mampu melaju tanpa menabrak, juga dapat menghindari atau mendahului kendaraan lain yang ada di depannya dan seterusnya, telah menimbulkan sensasi tersendiri dalam berkendara. Orang kemudian berilusi tentang kenyamanan mengendarai mobil jenis ini di jalanan macet, dan orang tidak perlu resah atau merasa lelah karena bisa duduk santai, bahkan sambil mengerjakan hal lain. Sementara mobil robotik ini akan bekerja sendiri dengan sistemnya yang super canggih.
Mobil tanpa sopir ini memang dilengkapi dengan berbagai teknik yang memampukannya mendeteksi lingkungan sekitar. Teknik-teknik canggih itu misalnya radar, sinar laser, GPS, odometri, dan visi komputer. Sistem kontrol lanjutan menafsirkan informasi sensoris untuk mengidentifikasi jalur navigasi yang tepat, serta hambatan dan tanda-tanda yang berhubungan dengan perlalulintasan. Mobil otonom harus memiliki sistem kontrol yang mampu menganalisis data sensoris untuk membedakan berbagai mobil yang berbeda di jalan.
Sama seperti teknologi canggih lainnya, mobil ini dikembangkan karena memang berpotensi menguntungkan manusia. Mengoperasikan mobil jenis ini diyakini mampu mengurangi biaya, termasuk juga biasa infrastruktut, meningkatkan keselamatan berkendara, meningkatkan mobilitas, kepuasan pelanggan ikut meningkat, serta mampu mengurangi kejahatan. Berdasarkan kajian, mobil tanpa sopir juga mampu mengurangi tabrakan dan kecelakaan lalulintas, mengurangi cedera karena kecelakaan, dan tentu saja juga mengurangi pembiayaan asuransi.
Beberapa keuntungan lainnya juga sering didengung-dengungkan, misalnya memudahkan orang miskin dan orang cacad dalam bepergian, membebaskan para pelancong dari tugas mengemudi dan navigasi, menekan bahkan mengurangi bahan bakar minyak, secara signifikan mengurangi kebutuhan akan lahan parkir, dan sebagainya.
Jenis Kejahatan Baru
Meskipun begitu, sama seperti dalam pengembangan teknologi lainnya, mobil tanpa sopir bukan tanpa masalah. Dan itu sudah mulai nampak ketika pada malam hari, tanggal 18 Maret 2018 yang lalu, Elaine Herzberg, seorang pedestrian di Arizona, Amerika Serikat, ditabrak mobil tanpa sopir dan kemudian meninggal dunia. Bagi orang Amerika dan juga kita di Indonesia, puluhan bahkan ratus orang meninggal karena kecelakaan lalulintas, termasuk orang ditabrak ketika sedang jalan kaki (pedestrian). Ketika itu terjadi, orang langsung menuding sopir yang lalai berkendara. Tetapi bagaimana dengan tabrakan yang melibatkan mobil tanpa sopir? Itulah sebabnya mengapa kejadian di Arizona itu -- dan pertama kali di dunia -- dilihat sebagai "kejahatan baru".
Kepolisian setempat mengatakan bahwa sistem sensor dari mobil tanpa sopir itu gagal mendeteksi pergerakan Nona Herzberg sehingga tidak bisa mencegah terjadinya tabrakan.
Apa yang Harus Dilakukan
Jika hal semacam ini terjadi, apa yang harus dilakukan? Telah ada banyak perdebatan mengenai jaminan keamanan dalam menggunakan jenis mobil ini. Beberapa analis mengusulkan adanya regulasi yang lebih keras dalam penggunaan mobil tanpa sopir. Kelompok ini berpendapat bahwa "Mobil yang melaju terlalu cepat akan membahayakan kehidupan orang lain dan justru malah gagal mencegah tingginya kematian yang disebabkan oleh kecelakaan lalulintas setiap tahunnya."
Tahun lalu, Kabinet pemerintahan Federal Jerman mengadopsi setidaknya 20 rekomendasi dari Komisi Etika untuk Mobil Otomatis (mobil tanpa sopir), dan ini harus diterapkan oleh semua pabrik kendaraan bermotor yang memproduksi jenis mobil ini. Beberapa rekomendasi itu dapat disebutkan, misalnya (1) jika teknologi dan mobil jenis ini mampu menekan angka kecelakaan dibandingkan dengan menggunakan sopir, maka hal ini harus menjadi sebuah imperatif etis. (2) Kehancuran dan kerugiaan material harus lebih didahulukan dan bukan kerusakan dan kehancuran manusia.Â