Mohon tunggu...
Jemmy Hendiko
Jemmy Hendiko Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer | Translator | Interpreter | Editor | Freelance Writer | Blogger |

Seorang pembelajar yang gemar memungut ide-ide yang bertebaran lalu mengabadikannya dalam tulisan. Lahir dan tumbuh di Talang, sebuah nagari di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia merampungkan studi S-2 di International Islamic University Malaysia (IIUM), sedangkan jenjang S-1 ia selesaikan di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai dosen, dai, penulis, penerjemah Arab-Indonesia (vice versa), penerjemah Inggris-Indonesia (vice versa), jurnalis di www.indonesiaalyoum.com, interpreter, dan editor di sejumlah penerbit di tanah air. Punya hobi menulis sejak kecil dan semakin terasah ketika menjejakkan kaki di Negeri Para Nabi, Mesir. Ia bisa dihubungi melalui akun Twitter: @jemmyhendiko dan e-mail: jemmyhendiko@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Jadi Ustadz Instan!

15 Mei 2015   17:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali menyimak pengajian atau taushiyah, saya senantiasa memposisikan diri sebagai seorang pendengar yang baik. Namun ada kesan dalam hati yang tidak bisa dibohongi, bahwa pengajian yang tengah disampaikan seringkali terasa janggal di hati dan mengganjal di pikiran ketika sang ustadz bukanlah orang di bidangnya, atau si ustadz hanya belajar agama secara otodidak dan instan, tapi memiliki semangat dakwah yang tinggi. Akibatnya, poin-poin yang ia sampaikan cenderung gersang dan hambar-hambar saja, apalagi substansi materi yang perlu dikaji kembali benar dan salahnya. Bagi saya pribadi, bila yang mengetengahkan pengajian atau taushiyah tersebut adalah seorang ustadz sungguhan yang punya latar belakang dan kapasitas syar'i yang mumpuni, taushiyah yang disampaikan terasa lebih menggugah dan membekas di hati. Tapi jika sebaliknya, rasanya ingin cepat-cepat saja keluar dari masjid.

Baik, perbandingannya lebih kurang mungkin begini. Saya yang tidak punya latar belakang pendidikan ekonomi, lalu sekonyong-konyong belajar ilmu ekonomi dan segala seluk-beluknya secara acak, amburadul, dan otodidak dari buku-buku dan artikel-artikel yang tersebar luas di internet, lantas menyampaikan pidato atau kuliah ekonomi di hadapan mahasiswa ekonomi atau orang banyak setelah itu. Maka saya yakin seyakin-yakinnya, banyak orang yang akan mengejek dan menertawakan saya, entah itu secara diam-diam atau terang-terangan, apalagi oleh orang-orang yang lebih tahu dan lebih punya kapasitas dalam bidang ilmu ekonomi itu sendiri. Mengapa? Karena ilmu ekonomi jelas bukan spesialisasi saya, bukan disiplin ilmu yang saya geluti. Sehingga apa yang saya pelajari dan sampaikan dari hanya baca-baca itu, sangat mungkin lebih banyak salahnya ketimbang benarnya, lebih rentan menimbulkan salah dan janggal, di samping akan mempermalukan diri saya sendiri bahkan menyesatkan orang lain. Faktanya, saya pribadi cenderung tidak mau mengambil langkah konyol itu.

Perumpamaan ini mungkin bisa dianalogikan ke kasus yang saya kemukakan di awal tadi. Yang jelas, mempelajari disiplin ilmu apapun, semuanya perlu didukung oleh perangkat, metode, dan prosesnya sendiri-sendiri, apalagi belajar seluk-beluk agama yang sesungguhnya tidak semudah baca-baca tanpa dilandasi dengan motede yang benar, terlebih lagi bila hasil bacaan itu tidak untuk ditelan sendiri, melainkan juga akan disampaikan ke orang lain, diceramahkan ke jamaah satu masjid. Saya kadang jadi berpikir, jika dakwah ini diasumsikan dengan sebegitu sederhananya, lama-lama disiplin ilmu syar'i yang menjadi pilar utama dakwah ini bisa menjadi ilmu yang terkesan gampangan, yang tidak punya kompetensi, yang bisa dipelajari hanya lewat comot-comot bacaan dan artikel di internet. Selesai baca, langsung bisa berdiri di mimbar, langsung bisa jadi murabbi (ups!), langsung koar-koar di Twitter dan bikin kicauan panjang-lebar tak karuan dan mendebat orang-orang (If you know who I mean), langsung bisa jadi dai kondang dan ustadz besar. Semoga saja tidak. Imam Syafi'i sendiri pernah berwasiat bahwa ilmu itu hanya bisa digapai dengan enam hal: intelegensi, semangat, kerja keras, ketersediaan finansial, upaya membersamai guru, dan proses waktu. Terakhir, yang instan itu, ujar seorang novelis, cukuplah pada benda bernama mie saja, oh iya, dan kopi. :p

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun