Mohon tunggu...
jelita dachi
jelita dachi Mohon Tunggu... Mahasiswa

STT EKUMENE MEDAN Nias Selatan ×͜×

Selanjutnya

Tutup

Humor

Turunkan Ekspetasi, Naikkan Toleransi

4 Oktober 2025   18:11 Diperbarui: 4 Oktober 2025   18:11 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto pribadi menunjuk boneka 

 Pernah nggak kalian merasa menurut kalian seseorang akan bersikap baik, perhatian, atau setidaknya menghargai kita, tapi ternyata yang kita dapat justru sebaliknya? Rasanya seperti ditampar oleh ekspektasi kita sendiri. Kita membayangkan skenario ideal dalam kepala bagaimana orang seharusnya bersikap, bagaimana mereka harusnya memahami perasaan kita

namun kenyataan sering kali tidak sesuai harapan. Yang terjadi bukan karena mereka jahat atau tidak peduli, tapi karena mereka tidak tahu ekspektasi apa yang kita bangun dalam diam. Ekspektasi adalah hal yang manusiawi. Kita berharap teman akan hadir saat kita butuh, pasangan akan selalu mengerti tanpa perlu dijelaskan, keluarga akan selalu mendukung tanpa diminta. Tapi ekspektasi, jika tidak dikendalikan, bisa menjadi sumber luka yang dalam. 

Bukan karena orang lain menyakiti kita secara sengaja, melainkan karena kita terlalu menggantungkan harapan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita lupa bahwa orang lain bukan tokoh dalam cerita hidup kita yang wajib mengikuti naskah versi kita. Dalam kehidupan sosial, ekspektasi yang terlalu tinggi sering kali menjadi pemicu konflik, kekecewaan, bahkan perpecahan. Kita kecewa karena orang tidak membalas pesan dengan cepat. Kita kesal karena mereka tidak peka. Kita marah karena merasa tidak dihargai. Padahal, kalau kita jujur pada diri sendiri, sebagian besar luka itu muncul bukan karena tindakan mereka, melainkan karena ekspektasi kita yang tidak terpenuhi. Ekspektasi memang tidak salah, tapi perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa setiap orang punya kapasitas, latar belakang, dan cara berpikir yang berbeda. 

Di sinilah pentingnya menaikkan toleransi. Ketika kita belajar untuk lebih menerima kenyataan bahwa tidak semua orang bisa memahami kita dengan cara yang kita harapkan, maka kita akan lebih tenang. Toleransi bukan berarti kita membiarkan hal-hal buruk terjadi begitu saja, tapi kita memberi ruang bagi perbedaan. Kita berhenti menuntut orang lain untuk jadi seperti kita, dan mulai belajar memahami bahwa mereka pun punya dunia dan beban mereka sendiri. 

Toleransi mengajarkan kita untuk tidak cepat menghakimi. Kadang seseorang yang terlihat cuek atau menyebalkan, bisa jadi sedang berjuang dengan hal yang tidak kita tahu. Saat kita bisa menurunkan ekspektasi dan menaikkan toleransi, hidup terasa jauh lebih ringan. Kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan kita pada bagaimana orang lain memperlakukan kita. Kita tidak terlalu mudah kecewa, karena kita sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna termasuk diri kita sendiri.

 Dalam hubungan apa pun, entah itu pertemanan, keluarga, atau asmara, kemampuan untuk menerima dan memahami lebih penting daripada keinginan untuk selalu dimengerti. Pada akhirnya, yang bisa kita kendalikan hanya diri sendiri pikiran, perasaan, dan cara kita merespons dunia. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu sesuai dengan harapan kita, tapi kita bisa mengubah cara kita memandang mereka. Dengan menurunkan ekspektasi, kita belajar untuk tidak mengatur segalanya.

 Dengan menaikkan toleransi, kita belajar memberi ruang bagi perbedaan dan ketidaksempurnaan. Dan justru dari situlah kedamaian perlahan tumbuh. Hidup tidak selalu sesuai rencana, dan orang lain tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Tapi itu bukan alasan untuk terus kecewa.

 Mungkin, justru di situlah pelajaran pentingnya: bahwa untuk hidup lebih tenang, kita tidak perlu dunia yang sempurna, kita hanya perlu hati yang lebih lapang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun