Tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar siap menghadapi krisis. Ia datang tanpa pemberitahuan, mengguncang rutinitas, merobek kenyamanan, dan meninggalkan luka.Â
Namun, dalam diamnya rasa hancur, sering kali justru di sanalah awal dari sebuah kebangkitan dimulai.
Krisis bisa datang dalam berbagai bentuk. Entah itu kehilangan pekerjaan, keuangan, Â gagal dalam pendidikan, patah hati, kehilangan orang tercinta, atau bahkan perasaan kosong yang sulit dijelaskan.
 Aku sendiri pernah mengalaminya. Saat itu, rasanya seperti jatuh ke dalam jurang gelap dan tak tahu harus merangkak ke arah mana. Dunia tampak berputar, sementara aku hanya duduk di sudut kamar, bertanya-tanya: "Apa gunanya semua ini?"
Tapi waktu mengajariku satu hal penting: krisis bukanlah akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi titik nol yang menakutkan, tapi juga bisa menjadi fondasi untuk membangun ulang diri yang lebih kuat dan utuh.
Saat semuanya terasa kacau, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menata ulang cara pandangku.Â
Aku mulai menuliskan perasaan, merenungkan kembali tujuan hidup, dan bertanya lebih jujur kepada diriku sendiri: "Apa yang sebenarnya aku cari?" Ternyata, selama ini aku terlalu sibuk mengejar ekspektasi orang lain, hingga melupakan siapa diriku yang sebenarnya.
Dari titik itulah perlahan aku bangkit. Bukan dengan langkah besar yang langsung mengubah hidup, tapi dari hal-hal kecil: bangun pagi, berterima kasih karena masih diberi hidup, belajar menerima kegagalan sebagai guru, dan memaafkan diri sendiri atas masa lalu.
Krisis mengajarkan banyak hal yang tidak bisa diajarkan oleh keberhasilan. Ia menunjukkan bahwa kita lebih kuat dari yang kita kira.
 Ia membuka mata bahwa hidup tidak selalu harus sempurna, dan justru dalam ketidaksempurnaan itulah makna sesungguhnya hadir.Â