Mohon tunggu...
Jekson Parulian Sitanggang
Jekson Parulian Sitanggang Mohon Tunggu... Relawan - Siparjalang

Siparjalang, Komentator, . Ampuni Bila Sudah Mulai Bicara tapi belum banyak mendengar. Sudah mulai menulis padahal belum banyak membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature

Antara Krisis dan Abai terhadap Air

29 September 2020   18:30 Diperbarui: 29 September 2020   18:38 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada 326 juta triliun galon air dipermukaan bumi tidak akan berkurang dan tidak akan bertambah. Dari jumlah tersebut 97% merupakan air laut (salt water), 2,4% merupakan air tawar dalam bentuk bongkahan es (frozen fresh water), 0,6% merupakan air tawar dalam bentuk cair (liquid fresh water). 

Hanya kurang 1% dari seluruh air yang ada dipermukaan bumi yang dapat digunakan oleh semua makhluk hidup didaratan bumi. Faktanya dari 0,6% liquid fresh water mayoritas ada di lapisan bawah permukaan tanah yang disebut Ekuifer yang tentu membutuhkan energi dan uang yang besar untuk memperolehnya serta butuh ratusan tahun untuk mengisi cadangan air pada Ekuifer tersebut apabila sudah habis dan implikasinya pada muka tanah yang semakin turun apabila di eksploitasi secara berlebihan. 

Sehingga air yang ada di permukaan merupakan sedikit diantara sedikit jumlah liquid fresh water yang ada dibumi. Melihat hal tersebut dan semakin seringnya kekeringan berkepanjangan di berbagai tempat dibelahan dunia. Sampai-sampai badan investasi Goldman Sachs pernah menggambarkan air sebagai, Minyak diabad 21. “The petroleum for the next century

Tapi sayangnya dibelahan bumi lainnya manusia sangat tidak menghargai air sampai pada dimana orang tersebut merasakan bagaimana pengalaman kekurangan air bersih. Sumber air permukaan yang sedikit tadi dibandingkan total keseluruhan air, dikotori dengan ber juta ton sampah, diracuni limbah domestik,  limbah pertanian serta limbah industri setiap hari. 

Demikian juga dengan  Danau Toba yang berada di Sumatera Utara yang merupakan danau vulkanis terbesar didunia. Danau yang berfungsi sebagai reservoir alami dari banyak sungai yang bermuara ke Danau Toba dengan total keseluruhan sungai yang masuk ke Danau Toba sebanyak 289 sungai.

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Sumut dan YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba)pernah  menyematkan Danau Toba bak Toilet Raksasa yang semakin tercemar. Berdasarkan penelitian KLHK dan LIPI pencemaran air di daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba berasal dari rumah tangga, hotel, peternakan dan Keramba Jaring Apung (KJA) serta industri yang berada disekitaran Danau Toba. 

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara pernah menyatakan jumlah pakan ikan yang ditebar di Keramba Jaring Apung (KJA) yang ada di Danau Toba mencapai 262 ton per hari atau 95670 ton pertahun dan nyatanya 20%-50% diantara tidak dikomsumsi atau terbuang ke dasar perairan, belum lagi feses ikan yang dihasilkan oleh proses budadaya tersebut. Sehingga residu pakan maupun feses ikan membetuk sedimen didasar permukaan yang menjadi limbah organik yang tentu saja menumbuh suburkan tanaman eceng gondong dan alga yang sebenarnya bukan habitat asli dari tanaman tersebut.

Ada lagi Penelitian dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan judul artikel " Kualitas Air Danau Toba di Wilayah Kabupaten Toba Samosir dan Kelayakan Peruntukannya" tahun 2020, menyimpulkan bahwa karena konsentrasi dari beberapa parameter yakni BOD, COD, besi dan klorida yang ditemukan, lebih besar dari konsentrasi  maksimum yang ditetapkan dalam PERGUB SUMUT no. 1 Thn 2009 tentang baku mutu air Danau Toba sehingga disimpulkan air Danau Toba tidak/belum layak  menjadi air baku minum dan wisata air. Menurut peneliti LIPI  dan Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI Dr. Ir. Fauzan A, M.Sc dari hasil penelitiannya mengatakan Danau Toba membutuhkan waktu 78 tahun untuk memulihkan diri. 

Dari hal tersebut dapat kita menggambarkan sejauh mana kerusakan ekosistem danau toba. Selain Keramba Jaring Apung (KJA) yang sering disebut sebagai biang kerusakan ekosistem Danau Toba, hotel-hotel dan pelaku pariwisata lokal yang menjual keindahan Danau Toba sebagai atraksi malah turut berkontribusi terhadap pencemaran danau toba itu sendiri. Hal ini dilihat dari minimnya Instalasi Pengolahan Air Limbah pada hotel-hotel termasuk juga rumah tangga dan peternakan disekitaran Danau Toba.

Solusi yang selalu dan harus didengungkan adalah komitmen terhadap penertipan Keramba Jaring Apung (KJA) serta komitmen terhadap pengendalian pencemaran di daerah tangkapan air (DTA) untuk sumber-sumber pencemaran dengan melakukan pemetaan kebutuhan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). 

Melihat dari hal tersebut pencemaran Danau Toba memang menjadi tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah untuk membuat regulasi guna melaksanakan pengendalian pencemaran lingkungan. Tetapi tentu saja diperlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat dengan upaya yang menyeluruh dan berkelanjutan. Karena masyarakatlah yang akan paling terdampak apabila kerusakan ekosistem danau toba terus berlanjut baik dari sisi ekonomi budidaya dan ekonomi pariwisata yang dihasilkan dari Danau Toba. Air yang sifatnya komunal tidak boleh dirusak oleh segelintir orang maupun koorporasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun