Sosok Melikianus Mote, Bupate Kabuopaten Deiyai di Papua Tengah, menurutnya babi bukan sekadar hewan ternak. Ia adalah simbol harga diri, kekayaan, dan kehidupan sosial masyarakat Papua. Namun, di balik nilai adatnya yang tinggi, potensi ekonominya sering terabaikan. Langkah Bupati Deiyai membeli 5.000 bibit babi dari peternak lokal untuk dibagikan kembali pada masyarakat bukan hanya program biasa, tetapi sebuah strategi membangun kemandirian ekonomi berbasis tradisi. Dari seekor babi, Deiyai bisa merajut harapan menuju masa depan yang lebih sejahtera dan modern.
Tradisi Sebagai Modal Sosial
Bagi orang Papua, khususnya di Deiyai, babi memiliki kedudukan istimewa. Ia hadir dalam setiap pesta adat, pernikahan, hingga ritual perdamaian. Babi adalah alat tukar sosial, simbol status, bahkan menjadi ukuran kekayaan seseorang.
Dalam tradisi, pemeliharaan babi dilakukan secara sederhana: dilepas di pekarangan, diberi makan ubi atau sisa makanan, lalu dijual atau dipotong saat ada acara adat. Tradisi ini membuktikan bahwa babi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, cara ini juga menunjukkan bahwa nilai ekonomi babi belum dioptimalkan. Ia lebih banyak diposisikan sebagai tabungan hidup, bukan aset bisnis.
Kebijakan Bupati: Menghidupkan Ekonomi Lokal
Program pembelian 5.000 bibit babi dari peternak Deiyai dan membagikannya kembali kepada masyarakat adalah kebijakan yang sederhana, tetapi berdampak besar.
1. Menggerakkan ekonomi lokal -- Peternak Deiyai akan menerima pemasukan dari penjualan bibit. Uang berputar di dalam daerah, bukan keluar ke luar Papua.
2. Memberdayakan masyarakat -- Warga penerima manfaat mendapat bibit babi, sekaligus kesempatan memperbaiki kesejahteraan keluarga.
3. Melanjutkan tradisi ke arah modernisasi -- Budaya beternak babi yang sudah ada tidak dihapus, tetapi ditingkatkan dengan cara pemeliharaan yang lebih modern dan produktif.
Kebijakan ini tidak hanya mengangkat harkat masyarakat, tetapi juga menegaskan bahwa pembangunan ekonomi bisa berangkat dari kearifan lokal.