Mohon tunggu...
Javier Nicholas
Javier Nicholas Mohon Tunggu... Siswa

Penulis dan Pengamat Sains

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Moralitas, Manipulasi, dan Keteladanan Bangsa yang Retak

28 September 2025   21:13 Diperbarui: 28 September 2025   21:13 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia sedang sakit. Bukan karena bencana alam, bukan juga karena ancaman dari luar, tetapi karena penyakit internal yang menggerogoti. Mulai dari ketakutan berlebihan yang menutupi masalah inti, manipulasi hukum oleh penguasa, hingga krisis keteladanan yang biut. Tiga analisis kritis dari berbagai sudut pandang yaitu artikel fenomena ulat bulu karya F. Rahardi, editorial kasus pagar laut ilegal oleh Tempo, dan kolom yang diangkat Budiman Tanuredjo tentang lemahnya sumpah wakil rakyat berbicara dalam satu napas yang sama bahwa bangsa ini tengah berhadapan dengan krisis kepemimpinan dan kepercayaan.

Mengapa kita sangat panik pada ulat bulu yang justru menguntungkan ekosistem, sementara kita abai terhadap "ulat-ulat" moral yang menggerogoti bangsa? Inilah kritik yang diutarakan F. Rahardi. Analisis terhadap fenomena fobia ulat bulu menunjukkan bahwa masalah sesungguhnya di Indonesia bukanlah ancaman ekologis atau teknis, melainkan ketakutan berlebih dan kegagalan sistem pendidikan dalam menanamkan pengetahuan.

Artikel ini sangat bermakna karena mampu memadukan sains, pengalaman ril, dan diskresi mendalam. Rahardi menekankan bahwa siklus alam selalu membawa keseimbangan. "Pohon mangga, jambu, dan avokad yang daunnya habis dijamin akan berbuah lebat pada akhir 2011." Dengan demikian, ulat bulu sebenarnya bukan ancaman, melainkan bagian ekosistem yang menguntungkan.

Di tengah hiruk-pikuk ulat bulu, Rahardi menggunakan majas untuk mengkritik kondisi negara "Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin." Fobia massal terhadap ulat bulu hanyalah cerminan dari kecenderungan masyarakat untuk panik pada masalah kecil dan terlihat, yang pada akhirnya menutup mata dari isu moralitas pemimpin dan krisis kepercayaan yang jauh lebih besar dan serius. Kita sibuk meliburkan sekolah karena ulat, padahal yang perlu diliburkan adalah ketidakjujuran dan perilaku tidak etis di ranah kekuasaan. 

Fobia berlebihan justru merugikan diri sendiri dan masyarakat. "Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini." Pernyataan ini sangat relevan karena ketakutan hanya akan menutupi masalah besar yang sesungguhnya yaitu moralitas pemimpin dan krisis kepercayaan masyarakat.

Jika Rahardi mengungkapkan fobia masyarakat hanyalah simbol dari kerusakan moral pemimpin, maka editorial Tempo memperlihatkan bentuk nyata kerusakan itu yaitu manipulasi hukum yang melemahkan kepercayaan publik.

Pengusutan kasus proyek raksasa pagar laut bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sebab alur birokrasi yang berbelit kerap membuat kebenaran semakin samar.

Saat moralitas pudar, hal yang muncul berikutnya adalah manipulasi dan ketidakpastian hukum. Kasus penanganan pagar laut ilegal di Banten yang diulas oleh Tempo menjadi salah satu bukti nyata. Editorial ini menyoroti koordinasi antar-instansi pemerintah dengan kepolisian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga masyarakat yang justru membuahkan nihilnya kepastian hukum.

Tempo menyampaikan gagasan dengan menguraikan kontradiksi antar instansi pemerintah dan menegaskan penanganan kasus pagar laut yang penuh ketidakjelasan. "Proses Hukum atas kasus ini juga simpang siur. Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polri Inspektur Jenderal Mohammad Yassin menyatakan belum ada tindak pidana dalam perkara itu. Dia berdalih masih menunggu keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengusut penanggung jawab pemasangan pagar laut tersebut Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa lembaganya hanya berwenang dalam penindakan administrasi. Adapun sanksi hukum dan kerugian negara menurut dia, merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan." Oleh karena itu, Tempo menyoroti kekacauan koordinasi pemerintah yang berujung pada ketiadaan kepastian hukum.

Editorial juga berisi argumen yang diperkuat oleh investigasi yang dilakukan oleh pihak Tempo sendiri "Penelusuran Tempo dalam dua pekan terakhir mendapatkan banyak dokumen dan keterangan masyarakat yang menguatkan dugaan bahwa pemasangan pagar laut ilegal sudah lama dirancang." Fakta tersebut menegaskan bahwa kasus ini sebenarnya tidak sulit diusut jika ada kemauan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun