[caption id="attachment_198982" align="aligncenter" width="320" caption="koleksi love and glitters"] [/caption]
Berdasarkan data KOPR-TKI, Eva Kusuma Sundari, menyatakan Ada 37 tenaga kerja wanita dari praktik perbudakan di negara-negara Arab (Saudi Arabia, Yordania, Suriah, Libya, Mesir, Kuwait, dan Qatar); negara-negara tersebut adalah anggota Liga Arab itu. Para majikan tersebut, dengan berbagai alasan, tak memperbolehkan para TKW tersebut pulang, (walau sudah habis masa kontrak  kerja), dan sekaligus menjadi budak seks. Lebihd ari itu, sejak awal mereka bekerja, para majikan tidak memberi gaji. Mereka yang menjadi budak seks tersebut, antara lain Sritati binti Trisno, pemilik paspor Nomor AB 358116 di Siria, Novi binti Danuji pemegang paspor Nomor P 788370 di Kantor Bijri Al Joud, majikan bernama Muhammad Agra di Suriah. Keduanya berangkat dari Indonesia pada 2007. Satu lainnya, TKW bernama Aslia binti Sarmani (Nomor Paspor AH 605095) bekerja di Yordania sejak 2006 [sumber].
Perbudakan - penindasan - budak seks, gabungan tidak kata yang beda arti serta kegiatana, namun jika dihubungkan dengan perempuan-perempuan Indonesia, maka itu menjadi satu kesatuan makna serta derita. Berdirilah di sisi perempuan-perempuan yang mau berusaha memperbaiki nasib serta ekonomi keluarga; perempuan baik-baik, beragama, serta berani. Â Namun, ketika mereka ada dalam cengkeraman majikan brutal, haus seks, maka jadilah mereka sebagai perempuan-perempuan derita dan korban.1344412940681751541
Apa yang kita bisa lakukan di sini!? Terutama umat beragama!? Bukankah agama dan organisasi keagamaan bisa melakukan banyak kegiatan dalam rangka meningkatkan ekonomi umat!? Atau bahkan, mereka yang punya dana besar, bisa membangun sesuatu agar umat terbantu secara ekonomi!?
Agaknya kita lebih banyak sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat politik, sentimen SARA, daripada perbaikan nasib umat. Mungkin!?Mengapa sampai masih ada perlakuan perbudakan seperti itu!?13438085271045655576
Mari kita menelusuri lebih jauh. Sikon sosio-kultural-ekonomi masa lalu, khususnya pada bangsa-bangsa (termasuk suku-suku dan sub-suku) nomaden di Timur Tengah (termasuk di jazirah Arab), budak/hamba selalu berhubungan dengan fungsi dan tugas seseorang yang melayani tuan atau pemiliknya. Hampir semua lapisan masyarakat pada masa itu mempunyai budak; kecuali komunitas budak itu sendiri, karena budak tidak mempunyai budak.
Para budak adalah hamba sahaya yang menjadi budak karena dibeli atau keturunan karena orang menjadi budak karena orang tuanya adalah budak. Biasanya seseorang yang telah dibeli dan menjadi ebbedh atau hamba, maka ia kehilangan identitas dirinya. Ia hanya menyapa dirinya atau disebut sesuai dengan nama tuannya; misalnya ebed Musa (jika tuannya bernama Musa) atau ebed Abraham (jika tuannya bernama Abraham), dan seterusnya. Sehingga pada diri para budak (termasuk pekerja rumah yang pada awalnya dibeli sebagai budak) muncul ketaatan dan loyalitas mutlak terhadap tuan mereka. Tugas mereka adalah melayani pemiliknya dalam segala sesuatu, termasuk mengorbankan nyawa demi hidup dan kehidupan tuannya.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak ribuan tahun sebelum Masehi sampai memasuki awal abad dua puluh, profesi sebagai budak, hamba, pelayan pekerja di rumah, relatif masih belum berubah; terutama pada suku-suku dan sub-suku pengembara yang kebetulan bukan Kristen di Timur Tengah. Pada masa kini, sebagian besar masyarakat suku di Timur Tengah masih menganggap mereka sebagai komunitas kelas bawah yang lebih rendah derajatnya.
Karena, umumnya para majikan, merasa lebih tinggi derajat dari para pekerja, dan juga sudah membayar untuk mendapat sang pekerja, maka mereka bertindak seenaknnya terhadap ‘yang sudah mereka bayar’. Dan perilaku negatif tersebut menimpa banyak pekerja dari Indonesia, Filipina, dan Pakistan. Namun, prosentasi terbanyak dialami oleh TKW (terutama pembantu rumah tangga) dari Indonesia.
Perilaku negatif tersebut, bisa saja merupakan akibat dari warisan sosial-budayanya masih menganggap para pekerja tersebut sebagai budak dan orang-orang yang lebih rendah derajatnya. Perilaku negatif  dan brutal tersebut, merupakan akibat dari warisan sosial-budayanya masih menganggap para pekerja tersebut sebagai budak dan orang-orang yang lebih rendah derajatnya
Kembali pada kelakuan para majikan yang memperlakukan TKW sebagai budak dan budak sex. Kecil kemungkinan, bawa perempuan-perempuan tersebut, datang dari yang pernah menjadi pekerja sex komersil atau sejenisnya. Mereka adalah Muslimah yang taat, dan mempunyai tekad meningkatkan taraf hidup dan kehidupan diri dan keluarganya.
Akan tetapi, karena jiwa dan sifat memperbudak masih ada pada diri para majikan, maka mereka bertindak sombong, angkuh dan otoriter; atau mungkin saja akibat punya uang karena punya uang, dan telah sanggup memiliki pekerja di rumahnya, dan orang asing pula. [Sebagai informasi, banyak orang di Timur Tengah, menjadi kaya karena adanya minyak dan perdagangan senjata; dan juga banyak yang naik derajat sosialnya karena uang; dan menjadi suatu mode-ukuran lebih, jika mereka mampu mempekerjakan orang asing di rumahnya]. Dan, karena ada sifat-sifat itulah, maka mereka meperlakukan TKW sebagai budak sex.CIRI-CIRI KOMENTAR SAMPAH13435306281366980106
- vulgar, porno, seksualitas dan pelecehan seksual
- ancaman, benci, kebencian, permusuhan,
- makian - caci maki seseorang maupun kelompok
- sentimen sara, rasis, rasiali, diskriminasi, dan sejenisnya
- menyerang individu
- melenceng - menyimpan jauh dari topik yang dibahas
- komentar spam, isi komentar yang sama dan berulang-ulang pada/di satu tulisan - artikel - lapak