Kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka yang berlaku selama ini, terpaksa dihentikan sementara karena merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid-19) di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pembelajaran dialihkan menjadi belajar dari rumah dalam jaringan (daring). Di tengah suasana pandemi Covid-19 ini, pola pembelajaran dari rumah terasa tidak efektif. Tapi demi memutus mata rantai virus ini, pola belajar dari rumah ini tetap harus dijalankan.
Bagi sebagian murid di seluruh Indonesia, belajar dari rumah terutama menggunakan teknologi internet mungkin tidak akan pernah bisa mereka wujudkan, selain karena kondisi perekonomian keluarga yang tidak mendukung, beberapa daerah di pedesaan masih ada yang tidak terjangkau jaringan telekomunikasi.
Menyikapi hal ini, beberapa guru 'kreatif' yang memiliki tanggungjawab dan kepedulian terhadap masa depan generasi penerus bangsa ini menerapkan pola pembelajaran mendatangi rumah muridnya.
Seperti yang dilakukan Pak Guru Melkianus Wolo yang mendatangi muridnya door to door di daerah 3T merupakan daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia.
Dengan berbekal sepeda motor lamanya, Pak Guru Melkianus Wolo, dengan gigih rela mendatangi rumah murid-muridnya di daerah 3T Sumba Timur, NTT. Guru yang kerap disapa Pak Guru Eki ini, adalah guru honor yang sudah mengabdi sejak tahun 2013, tepatnya di SMP N Satap Laimeta Desa Laimeta Kecamatan Mapambuhang Kabupaten Sumba Timur. Sekolahnya masuk dalam zona 3T dan jauh dari pusat kota Waingapu.
"Kalau jaraknya kurang tahu, tapi kalau naik motor atau mobil bisa sampe lima jam" ujarnya.
Dia berkisah kalau awalnya dia mengajar disana ketika diajak kepala sekolahnya tahun 2013 karena kekurangan tenaga pengajar.
Â
Nah, pas sampe di lokasi, kenangnya ia pun bingung mau tidur dimana, karena kepala sekolahnya pun waktu itu juga ternyata masih baru, akhirnya diputuskan tidur di dalam ruangan kelas.
Misi kami mendatangi murid ke rumah-rumah karena sekolah kami tak dapat jaringan, kalaupun ada harus mendaki diatas gunung dulu. Ditambah murid-murid kami di sana, tak satu pun yang memiliki telepon seluler. Orang tua mereka juga begitu. Jadi, terpaksa harus door to door supaya anak-anak bisa terus belajar.
"Ada yang berangkat jam 4 pagi dari rumah mereka jalan kaki, sampai di sekolah bisa jam 8 pagi paling cepat" ujarnya.
Dia mengaku senang mengajar di sekolahnya mesti dengan honor pas-pasan yang dialokasikan dari dana BOS. "Bukan materi utama saya, yang paling penting anak-anak saya bisa belajar. Saya juga senang karena anak-anak di sekolah saya masih sangat menghormati saya sebagai guru" jelasnya.