Mohon tunggu...
Jamaluddin Mohammad
Jamaluddin Mohammad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekerja di Komunitas Seniman Santri (KSS) - Tak pernah berhenti belajar: belajar melihat, belajar mendengar, belajar merasakan, dan belajar menunda penilaian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kerasnya Hidup Seorang Pedagang Rujak Keliling

4 April 2016   19:00 Diperbarui: 4 April 2016   21:12 1907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yanto hanyalah salah satu dari jutaan “orang kecil” di Jakarta. Ia harus bertahan hidup di tengah himpitan dan desakan kapitalisme. Namun, ia tak menyerah dan tetap bangkit. Meskipun hanya berjualan buah keliling, semangat hidupnya tetap menyala dan tak mudah padam. Ia terus bergerak (bekerja) mengikuti irama takdir. Tapi bukan pasrah dan menyerah, melainkan mengikutinya. Seperti orang yang terbawa arus sungai ia tak tenggelam tapi terus mengikuti ke mana pun arus pergi. 

Baginya hidup adalah “pilihan”. Perjalanan hidupnya menggambarkan pada pilihan itu. Awalnya ia bekerja sebagai buruh. Ia digaji. Selama menjadi buruh ia tak pernah merasa puas. Ia melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Tak pernah menetap dan merasa nyaman di zona aman. Semua pekerjaan dijajakinya. Sampai akhirnya ia menemukan pekerjaan yang menurutnya bisa mengantarkan pada kebebasannya, kemerdekaannya, dan kemanusiaanya. Nilai hidup ada pada prosesnya bukan pada hasilnya.

Karakter kebaharian yang melekat pada Yanto terlihat pada keteguhan, kemandirian, keberanian serta kekuatannya menghadapi dan menyiasati hidup ini. Orang bahari tak mudah menyerah dan tak gampang kalah. Ia terbiasa menerima dan menghadapi realitas yang selalu berubah dan sulit ditebak. Pelaut pasti menghadapi badai dan gelombang. Bukan pelaut jika menyerah pada gelombang dan takut tenggelam. 

Yanto seorang petualang. Sejak umur belasan ia sudah merantau menjajal semua pekerjaan. Baginya, bekerja bukan sekadar untuk hidup, survive, melainkan untuk memaknainya. Yakni memaknai pekerjaan dalam hidupnya. Karena itu ia butuh berpetualang agar menemukan banyak makna dalam hidup ini. Tak banyak orang seperti Yanto yang sanggup memaknai seluruh perjalanan hidupnya. Kebanyakan orang hanya luruh, larut, dan tenggelam begitu saja dalam pekerjaannya dan tak sanggup memaknai hidupnya. Orang-orang mudah terjebak dan terperangkap oleh banalitas hidup ini, seperti binatang yang bekerja untuk sekadar hidup.

Yanto sangat memuji solidaritas yang ditunjukkan orang-orang dari desa istrinya: Ngayung. Meskipun mereka tinggal di sebuah kota yang memuja individualisme, namun nilai-nilai desa yang tecermin dalam suasana kekerabatan dan persaudaraan masih tetap dibawa dan dipertahankan. Mereka bekerja bukan atas dasar pada kompetisi, melainkan atas dasar kebersamaan dan kebaikan bersama (common good). Yanto mewakili orang desa yang membawa nilai-nilai desa ke kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun