2 fakta yang paling mencengangkan atas jatuhnya korban di pertandingan 'klasik' di Gojek Liga 1 Â kemarin adalah :
1. Pengeroyokan terjadi SEBELUM pertandingan dimulai.Â
Jika hasil pertandingan, kekecewaan kepemimpinan wasit, ulah 'unfair' supporter saat pertandingan adalah alasan dibalik 'bentrok', maka-meski tak bisa disebut wajar- itu memang lumrah terjadi dalam suatu kancah gumul pendukung sepakbola. Tapi, kejadian ini terjadi sebelum pertandingan dimulai. Artinya-entah terencana atau tidak- antisipasi aparat yang bertugas untuk 'bentrok' Â di awal pertandingan memang harus di akui dan dikoreksi keras.
2. Kalimat Tauhid saat Pengeroyokan berlangsung.Â
Ada video viral saat Pengeroyokan. Dan jelas 'para begundal' yg disebut oknum itu meneriakkan kalimat tauhid. Bahkan saya dengar ada yg bilang : "jihad!". Apa ini? Sepertinya kampanye FIFA dengan jargon "UNITED AGAINTS RACISM" tidak menelisik ke kuping dan hati para begundal. Bagaimana mereka meneriakkan kalimat tauhid, tapi hatinya terbakar amarah?Â
Artinya, ini antisipasi untuk mendidik anak-anak kita secara lebih detail kedepan. Karena bisa jadi, keluarga dan lingkungan yang membentuk mereka seperti itu.Â
Lalu, kebencian.Â
Tidak peduli apa dan siapa, Jakmania akan dihabisi oleh Bobotoh, begitupun sebaliknya.Â
Pada 2017,di partai pertandingan yg sama, malah seorang pemuda meninggal akibat SALAH PAHAM. Â Bayangkan, salah paham itu membunuh salah seorang bagian dari dirimu.Â
Akta kesepakatan damai, penangkapan aksi kerusuhan, komitmen lisan-tulisan yang bertujuan menghentikan jatuhnya korban seolah cuma seremonial tai kucing belaka. Akar rumput sayangnya tak mengikuti apa yang diinginkan puncak pohon.Â
Artinya, kebencian yang dipertontonkan ini bukan berasal dari historikal masa lalu lagi. Mereka bukan "monster idealis" yang membalas dendam atas dasar perbuatan masa lalu. Â Mereka adalah "monster" yang terbentuk oleh lingkungan. Tidak peduli apakah korbannya pernah melakukan sesuatu atau tidak, "monster" ini tetap membenci dan membunuh.Â