Mohon tunggu...
Epetebang
Epetebang Mohon Tunggu... Wiraswasta - untaian literasi perjalanan indah & bahagiaku

credit union, musik, traveling & writing

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menghantar Julak Ama Menyebayan

2 Agustus 2021   13:31 Diperbarui: 4 Agustus 2021   15:14 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adrian atau Julak Ama (foto: Hepiyanus)

Sudah beberapa tahun tidak berjumpa beliau karena keadan dan situasi pandemi  ini sehingga saya tidak bisa pulang kampung. Biasanya kalau kami pulang kampung  ke Kampung Petebang, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten  Ketapang (Kalbar), pasti malamnya beliau datang ke rumah. 

Saya senang karena beliau bias mengurut badan menghilangkan capek. Meski saya tidak terlalu fasih berbahasa isyarat, namun kami bisa cerita-cerita, komunikasi.  Dengan isyarat dan suaranya, kami bisa saling berbincang.  

Minggu, 1 Agustus 2021, pukul 08.00 pagi, beliau dipanggil Duwata menghadapNya setelah sakit sekitar 3 hari. Hari ini minggu ini belum sempat beliau ke gereja, kebiasaan yang sejak kecil dilakukannya setiap hari Minggu untuk beribadat di Gereja Katolik St.Paulus Stasi Petebang.

Beliau berpulang dalam usia 77 tahun karena sakit stroke berat. Sebelum sakit, beliau beberapa hari bermalam di Bukit Gamai, bukit kebun durian, sekitar 4 kilometer dari kampong Petebang. Jadi kebiasaan warga kami, kalau musim durian, orang-orang membuat pondok dan bermalam du Bukit Gamai untuk mengumpulkan durian secara gratis, diolah menjadi tempoyak atau lempok (dodol).

Beliau adalah Adrian, atau sehari-hari akrab dipanggil Julak Bisu, Julak Ama. Julak karena beliau sulung dari 12 bersaudara dari pasangan Nuar dan Sita. Kakek Nuar masih hidup sampai hari ini (1/8/2021) di usis hampir 100 tahun. Ama maksudnya isyarat, aba-aba atau ada banyak yang memanggil beliau (maaf) bisu karena memang sejak lahir beliau tuna rungu. Saya mulai ingat beliau sejak pra SD, tahun 1977 karena saya sering di rumah nenek, rumah Julak Ama ketika masih kecil.

Simpang empat kampung Petobang/Dokpri
Simpang empat kampung Petobang/Dokpri

Dalam bahasa kami, nama kampung ini Petobang. Tetapi dalam penulisan resmi di pemerintahan sejak Orde Lama dulu, diubah jadi Petebang. Namun sampai saat ini kami tetap menyebut diri kami urang Petobang. 

Menurut cerita upui ontah kami (buyut), asal muasal leluhur kami dari daerah Sungai Tuat, Daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Daerah Lamandau. Mereka pindah satu kampung besar dibawah pimpinan Janggan sekitar akhir tahun 1800-an. Mereka pindah sekampung sebagai bentuk protes karena diperlakukan tidak adil.

Durian di gamai (foto: erwin)
Durian di gamai (foto: erwin)

Karena berasal dari daerah Kalteng tersebut, maka bahasa urang Petobang beda dengan warga Dayak Jalai maupun Dayak Pesaguan di kampung-kampung sekitarnya, terutama dialeknya. Setalah saya bertemu langsung orang Dayak dari daerah Kotawaringin, ternyata dialek kami sama, dan sebagian besar kata-katanya sama. Ini yang memuat saya yakin bahwa buyut kami memang dari Daerah Lamandau, Kalteng.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun