Kita tidak bisa lepas dari fatum, takdir semesta. Di sisi lain, kita juga dapat melihat pandangan utama kaum Stoa perihal "kebebasan manusia". Kebebasan tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir. Justru manusia akan mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tak terelakkan itu. Untuk itu, manusia yang telah menjadi bijaksana menerima takdirnya sama seperti ia menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa.
Menurut Franz Magnis-Suseno, cita-cita kaum Stoa sebetulnya mirip dengan hasrat dasar. Manusia yang bijaksana, yang telah mengolah rasa-nya, tidak lagi memberontak terhadap apa yang sudah semestinya terjadi, melainkan, dengan mengembangkan sikap menerima, ia menempatkan diri ke dalam keselarasan kosmis yang sudah ada untuk dapat menyatu dengan dasar Ilahi dari segala yang ada" (Franz Magnis-Suseno, 2018: 58).
Diskursus entitas stoikisme mengandalkana usaha yang dilakukan, sekalipun usaha manajemen perasaan untuk menuju kebahagiaan sepenuhnya dikendalikan diri sendiri tanpa andil atau menafikan pencipta hanya akan didera kekecewaan tatkala tidak sesuai ekspetasi. Begitu fatalis bukan? nyatanya memang seperti itu teori ajaran kehidupannya.
Tidak asing jika sering mendengar apapun yang terjadi dalam kehidupan sudah menjadi bagian rencana dan ketetapan Ilahi, karena sebagaimana kita yakini bahwa segalanya tidak mutlak dapat dikelola dengan baik oleh tangan manusia. Artinya, ketika kita sudah berhasil memanjemen hasrat dan keinginan, bukan berarti segalanya mengalir lancar sebagaimana pandangan Stoikisme. Ada hal di luar kemampuan mengelola hasrat tersebut dalam menentukan kebahagiaan. Tepat pada titik inilah penulis menghadirkan Dzat yang Maha di atas segalanya.
Seolah-olah memang mengerdilkan peran manusia dalam mengatasi persoalan mentalnya. Usaha yang dilakukan oleh manusia di sini, tidak lebih hanya sekadar usaha. Sementara penyelesaian akhirnya berada di tangan Tuhan sepenuhnya.
Bagaimana rumus bahagia menurut versimu?