Amr bin al-Ash merupakan salah satu sahabat yang terkenal akan penaklukan wilayah Mesir pada akhir tahun 639 SM. Beliau dipanggil "Pembebas Mesir" karena berhasil membebaskan Mesir dari dua kerajaan besar yaitu Romawi dan Imperium Persia yang terkenal akan kekejaman mereka selama berkuasa. Pada saat beliau memerintah wilayah Mesir, masyarakat Mesir non Muslim dan Muslim diperlakukan dengan baik berbeda dari pemerintah sebelumnya. Banyak pencapaian Amr bin al-Ash yang membuat nama beliau terkenal di kalangan sahabat dan juga musuh. Pada artikel ini, kita akan membahas posisi Amr bin al-Ash dalam konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Amr bin al-Ash di zaman Utsman bin Affan
Kita mulai dari pada awal zaman Utsman bin Affan dimana pada saat itu Mesir dipimpin oleh dua amir, yaitu Amr bin al-Ash dan Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarah. Amr bin al-Ash memerintah daerah Mesir dataran rendah sedangkan Sa'ad bin Abu Sarah memerintah daerah Mesir daratan tinggi. Utsman ingin mempertahankan posisi tersebut, namun Amr bin al-Ash berkata agar Utsman menetapkan dirinya sebagai amir satu-satunya Mesir dengan memberhentikan Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarah. Utsman menolak usulan tersebut dengan berkata "Umar bin Khatab telah mengangkatnya sebagai wali kota daratan tinggi, padahal di antara keduanya tidak memiliki hubungan umum ataupun khusus. Sedangkan engkau mengetahui bahwa ia adalah saudaraku sepersusuan. Bagaimana bisa aku memberhentikan orang yang telah diangkat selainku?" Mendengar hal itu Amr bin al-Ash mengajukan pengunduran diri dikarenakan syaratnya tidak diterima oleh Khalifah. Dalam berbagai literatur dinyatakan bahwa Amr bin al-Ash diberhentikan secara paksa oleh Khalifah Utsman agar sanak keluarganya bisa mendapat jabatan sebagai amir Mesir. Menurut sumber, ini merupakan bentuk propaganda yang menyatakan kalau Khalifah Utsman melakukan nepotisme.
Amr bin al-Ash dalam konflik
Â
Muawiyah bin Abu Sufyan menolak pembaiatan Ali sebagai Khalifah dan menolak pencabutan jabatannya sebagai Gubernur Syam dengan alasan beliau menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman bin Affan terlebih dahulu. Pada saat itu, Ali memprioritaskan penggantian semua pejabat yang diangkat oleh Utsman dikarenakan isu utama yang menjadi sumber konflik Utsman ialah rumor nepotisme yang dibicarakan dimana-mana. Ini upaya untuk memuaskan keinginan para pemberontak yang mempunyai kekuatan besar dalam politik kaum Muslimin. Akibat dari kedua pihak keras dalam mempertahankan pendapat masing-masing, isu terjadinya konflik besar membuat umat Islam, pada saat itu masih trauma akan pembunuhan Utsman, mulai hilang harapan akan adanya masa damai dan tenteram seperti dahulu bahkan menyadari bahwa akan ada bencana yang besar menimpa mereka.
Posisi Muawiyah sangat kuat di Syam dikarenakan beliau sudah memerintah wilayah tersebut kurang lebih 20 tahun sehingga masyarakat Syam patuh kepadanya. Muawiyah mengajak warga Syam untuk menuntut Ali agar segera mengurus kematian Utsman bin Affan. Melihat dari sumber, dinyatakan bahwa salah satu pasukan Ali mengusulkan kepada beliau untuk mengukuhkan Muawiyah sebagai gubernur Syam dengan harapan Muawiyah akan membaiat Ali atas balasan mendapat kekuasaan. Namun Ali tidak setuju usulan tersebut. Konflik ini diperparah dengan tindakan beberapa delegasi Ali yang mengolok ngolok Muawiyah bahkan menuduh beliau bahwa situasi ini dibuat untuk menduduki kursi kekhalifahan sehingga Muawiyah marah murka akan pernyataan yang tidak ada buktinya menurut beliau. Berbagai upaya diplomasi tidak kunjung berhasil sehingga pada hari Rabu tanggal 7 Shafar 37 H perang dimulai dan berlangsung hingga 3 hari. Pada hari ke 3, umat Islam mulai takut akan begitu banyak korban jiwa yang dihasilkan dari pertempuran ini. Lalu muncul gagasan untuk melaksanakan at-tahkim dari Amr bin al-Ash yaitu mengangkat mushaf Al-Quran sebagai pesan untuk memutuskan hukum sesuai dengan Kitabullah demi menjaga persatuan umat Islam. Menurut sumber, Amr bin al-Ash ditawarkan kerja sama oleh Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi diplomat dan politisi dikarenakan kemampuannya sebagai mediator dan kecerdikannya saat menjadi pemimpin militer. Sejak wafatnya Utsman bin Affan, dikatakan bahwa Amr bin al-Ash telah mendukung Muawiyah. Gagasan Amr bin al-Ash bukanlah yang pertama kali, pada perang Jamal Aisyah RA juga memerintahkan untuk mengangkat mushaf sebagai tanda perdamaian. Ali dan Muawiyah diminta untuk menentukan perwakilan. Muawiyah mengutus Amr bin al-Ash, sementara Ali hendak menentukan Al-Aystar An-Nakh'I namun ditolak oleh beberapa perwiranya dikarenakan Al-Asytar yang pertama kali menyebarkan fitnah sehingga diganti menjadi Abu Musa Al-Asy'ari. Kedua sahabat ini masing-masing mengajukan nama-nama yang tepat menjadi khalifah, namun tidak kunjung mencapai kesepakatan sehingga mereka memutuskan untuk mencopot Ali dan Muawiyah dari jabatan mereka berdua sekaligus, kemudian masalah kekhalifahan diserahkan ke umat. Kisah pembacaan tahkim mempunyai banyak riwayat dan penafsiran yang menyatakan bahwa pembacaan ini penuh dengan tipu daya, makar, dan kebodohan. Namun, menurut sumber utama ini hanyalah miskonsepsi dan salah satu upaya distorsi sejarah oleh sejarawan yang tidak objektif dalam menulis sejarah. Setelah Abu Musa mengumumkan pencopotan Ali dan disetujui Amr bin al-Ash, Amr mengumumkan pengukuhan Muawiyah. Syarat dan ketentuan tahkim adalah kedua belah pihak harus sepakat, bila ada salah satu pihak tidak sepakat maka tidak sah tahkim tersebut. Oleh karena itu, Muawiyah tidak bisa dikukuhkan sebagai Khalifah. Lalu apa maksud dari Amr bin al-Ash? Uraian dari Ustadz Muhibbudin Al-Khathib adalah "Ketika terjadi at-tahkim ihwal kepemimpinan umat Islam, kedua perwakilan bersepakat untuk menyerahkan urusan tersebut kepada para sahabat senior dan tokoh-tokoh utama mereka. Maka, tahkim hanya membahas satu persoalan saja, yaitu kepemimpinan. Adapun administrasi daerah yang sebelumnya dipegang masing-masing tokoh yang berkonflik tetap seperti sedia kala. Ali diberi wewenang memerintah daerah yang dikuasainya (Irak), dan Muawiyah diberi wewenang memerintah daerah yang dikuasainya (Syam)." Tanggapan Ali setelah menerima hasil tahkim adalah tidak sepakat dan menilai Abu Musa dan Amr telah melanggar Kitabullah dalam memutuskan hukum sehingga permaslahan ini kembali ke status perang antara Ali dan Muawiyah.
Kesimpulan
Belajar tentang sejarah mengenai Utsman dan Ali terutama konflik Ali dan Muawiyah harus hati-hati dan teliti melihat sumber yang digunakan. Oleh karena itu, setelah membaca artikel ini mohon untuk crosscheck sumber sumber terpercaya secara mandiri. Amr bin al-Ash dan Muawiyah selalu dihantui dengan konotasi negatif di setiap penafsiran sejarah, mengotori reputasi mereka dan menutupi pencapaian mereka yang bermanfaat untuk kemajuan umat Islam. Diharapkan artikel ini bisa menghapus noda noda yang ada di nama-nama para sahabat yang mulia. Wallahu a'lam.
Pustaka :
KONTROVERSI KHALIFAH PERTAMA DINASTI UMAYYAH MUAWIYAH BIN ABU SUFYAN Erna Mardiana UIN Alauddin Makassar 2016