Mohon tunggu...
Elisabet Vanessa Nugroho
Elisabet Vanessa Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi

saya bisa menulis dan suka menulis sejak lahir

Selanjutnya

Tutup

Financial

KUARTET M: Mengoreksi, Menyadari, Mengagumi, dan Memahami Indahnya Pajak di Era Digital

31 Agustus 2025   22:56 Diperbarui: 31 Agustus 2025   22:58 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Bagaimana reaksimu ketika mendengar mama atau papa berbicara soal harga makanan di restoran yang naik karena pajak, atau kakakmu yang mengeluh karena biaya berlangganan aplikasi digital semakin mahal akibat pajak? Mungkin kamu langsung mikir, “Duh, pajak itu nyebelin banget.” Faktanya, kebanyakan masyarakat Indonesia juga memiliki pikiran yang sama.

Pajak sering dianggap seperti hantu menyeramkan yang wajib dibayar oleh masyarakat. Kewajiban yang harus dipenuhi walaupun tidak suka. Membayar pajak sering diibaratkan seperti memperoleh nilai 74 ketika batas kelulusan adalah 75—hampir berhasil, tetapi tetap terasa mengecewakan. Banyak orang memandangnya sebagai beban tambahan, seolah negara menuntut tanpa memberikan timbal balik yang sepadan. Padahal, jika kita bisa memahami pajak dengan benar, pajak bisa menjadi “pahlawan” yang bekerja tanpa kita sadari dalam menata kehidupan, menjaga keseimbangan, dan memaksimalkan manfaat bagi masyarakat.

Data tahun 2024 menunjukkan ada sekitar 85,75% akun wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan ada sekitar 14,25% wajib pajak yang tidak melapor di tahun 2024 (Wildan, 2025). Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terjadi penurunan sedikit pada kepatuhan warga. Fakta ini menegaskan bahwa kesadaran pajak masih sangat minim di kalangan masyarakat dan harus ada resolusi tegas yang dilakukan agar pelaku yang tidak membayar pajak bisa diminimalisir. Lantas, apa langkah yang tepat agar masyarakat bisa mengubah asumsi negatif tentang pajak dengan pemahaman yang lebih positif?

 

Mengoreksi Cara Pandang Ilusi Menjadi Realiti

Mengapa banyak orang memandang pajak sebagai sesuatu yang buruk? Ini semua disebabkan karena minimnya pemahaman tentang kewajiban pajak yang sesungguhnya. Terdapat tiga tipe pandangan masyarakat terhadap pajak:

  1. Mereka yang tetap membayar meskipun tidak suka karena paham akan manfaat yang diberikan.
  2. Mereka yang belum merasakan manfaatnya secara langsung sehingga tidak menyukai pajak.
  3. Mereka yang belum mampu memenuhi kewajiban tersebut tetapi sudah memahami seberapa pentingnya pajak.

Masalahnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih berada pada tipe kedua dan ketiga. Jika ditarik ke dalam hubungan antarmanusia, kita bisa melihat adanya kesamaan. Secara sederhana, mengapa dua orang yang awalnya saling bertentangan justru dapat menjalin hubungan yang harmonis, baik sebagai pasangan maupun sebagai sahabat dekat? Jawabannya sederhana, mereka saling mengerti satu sama lain. Mereka tidak egois, melainkan berusaha terbuka, menghargai perbedaan, dan menemukan titik temu. Pajak pun juga harus diperlakukan seperti itu. Selama masyarakat hanya menghakimi tanpa memahami, pajak akan terus dianggap sebagai beban. Namun, dengan edukasi yang tepat, persepsi itu dapat berubah—dari sesuatu yang menyusahkan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Menyadari Keanekaragaman Pajak

Sama halnya manusia, pajak pun memiliki perbedaan. Pajak terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak daerah dan pajak pusat. Pajak daerah dikelola oleh pemerintah daerah sedangkan pajak pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau pemerintah pusat. Beberapa pajak yang termasuk pajak daerah, yaitu pajak hotel dan restoran yang dibayar ketika kita makan atau menginap, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang wajib dibayar pemilik mobil atau motor setiap tahun, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dikenakan saat terjadi jual beli atau hibah tanah dan bangunan.

Sedangkan, beberapa pajak yang termasuk pajak pusat, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) yang biasanya langsung dipotong dari gaji atau penghasilan yang diterima—dan inilah yang sering dikeluhkan masyarakat. Ada juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan jasa. Selain itu, ada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang-barang eksklusif seperti mobil sport atau perhiasan mahal, Bea Materai untuk dokumen resmi seperti perjanjian atau akta, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang wajib dibayar pemilik tanah dan bangunan setiap tahun.

Mengagumi Hebatnya Pajak di Era Digital 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun