Hampir tengah malam kemarin saya mendapat telephon dari dokter Lilie, Kepala Puskesmas Wonosobo kota. Mengabarkan telah terjadi peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di sebuah dusun wilayah puskesmas beliau. Total ada 6 penderita yang dirawat. Satu di RS Ngesti Waluyo, Parakan, dua di RSI, dan sisanya di RSU. “Saya di oyak-oyak harus ke desa sekarang. Pak Camat sudah di lokasi. Mbah Manten (mantan kepala desa) ngancam mau lapor Pak Bupati kalo malam ini juga nggak di fogging!”
“Buk, yang bener. Tengah malam gini minta fogging? Biar lapor Pak Bupati juga gak papa. Mohon dipastikan semua warga yang demam bisa ditangani puskesmas. Atau langsung dirujuk ke rumah sakit. Besok pagi-pagi kita ke lokasi...”, jawab saya.
Benar juga. Pagi harinya, pukul delapan lebih sedikit saat kami sampai di lokasi, Pak Camat beserta semua pejabat struktural kecamatan (minus Pak Sekcam) sudah ada di desa. Semalam beliau begadang sampai pagi. Heboh benar, pikir saya. Kami berbagi tugas. Bu Jum, Mbak Ika, Mbak Nur, Fat, dan dokter Lilie mengerjakan penyelidikan epidemiologis ke rumah-rumah warga yang sakit atau demam. Saya, Pak Dar, Mas Diman, dan Imron melakukan survey jentik. Diantar bapak-bapak perangkat desa tentu saja.
Dua jam kemudian kami paparkan hasilnya dalam musyawarah lengkap yang dipimpin Pak Camat di ndalem Mbah Manten. Ndalem besar yang penuh dengan koleksi jam kuno. Puluhan bergantungan memenuhi ruangan. Dentang suaranya bersahutan memecah hening.
“Bapak-ibu sekalian. Dari enam warga yang kita sangka DBD, satu orang Rumpellit Test-nya positif. Rumpelit Test itu test sederhana untuk menilai perdarahan bawah kulit pada tersangka DBD. Tapi tes ini tidak serta merta memastikan bahwa beliau DBD. Nanti kita tunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya. Yang empat orang dirawat karena sakit yang lain, bukan DBD. Ada yang Maag (Gastritis, radang lambung), tekanan darah tinggi, dan sakit kulit (urtikaria). Satu orang yang dirawat di Parakan, hasil pemeriksaan lab-nya positif DBD. Seminggu yang lalu beliau ada riwayat bepergian ke luar kota. Jadi kita semua perlu tetap waspada, mengingat nyamuk penular DBD kemungkinan ada di desa kita ini.”
“Untuk survey jentik yang barusan kita lakukan, dari 51 rumah yang kita kunjungi, 19 rumah positif ditemukan jentik. Sekitar 37 % ya. Berarti angka bebas jentik kita di angka 63 %. Standarnya 95 %. Jentik memang ada dimana-mana, tapi tak boleh lebih dari 5 % saja mestinya. Ini juga perlu kita perhatikan.”
“Bapak dan ibu yang terhormat, kami mengusulkan, pertama, gotong royong memberantas sarang dan jentik nyamuk. Selokan-selokan kita penuh sampah. Air yang terjebak di genangan-genangan kecil menjadi tempat perindukan nyamuk. Bener nggak? Kedua, semua warga kita dorong untuk 3 M. Mengubur barang bekas yang sudah tidak digunakan, menutup wadah yang bisa digunakan untuk perindukan nyamuk, dan menguras tempat-tempat penampungan air paling tidak seminggu sekali. Disikat dan dikeringkan dulu biar telur nyamuk yang belum menetas mati.”
“Ketiga, semua warga yang demam mohon segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Tidak boleh ada yang terlambat mendapat pertolongan. Jangan khawatir masalah biaya, nggih? Keempat, menurut kami fogging belum perlu dilakukan sekarang. Fogging itu hanya bisa membunuh nyamuk dewasa. Dampak ke lingkungan luar biasa berbahaya. Yang kita semprotkan itu insektisida. Tidak hanya nyamuk yang mati, serangga kecil-kecil lain yang kita perlukan juga ikut mati. Fogging kita jadikan pamungkas sesuai kebutuhan. Bapak dan ibu tidak usah khawatir. Kami siap kapan pun apabila berdasar kajian memang perlu dilakukan. Berdasar penyelidikan kami, yang dibutuhkan warga kita saat ini sebenarnya bukan fogging, tapi Emblik!”
Semua hadirin menatap saya. Kecuali dua orang saja tampaknya, Pak Camat dan Mbah Manten. Beliau berdua justru senyum-senyum. Nah!
DBD dimana-mana paling laku secara politik. Tahun lalu isu itu bekerja dengan sangat baik di Desa Selomoro dan Gunungtiwang. Sekarang di dusun yang demikian terpencil. Dua tahun belakangan ini, sejak pergantian kepala desa, tradisi merdi desa yang biasa digelar tiap tahun tidak dilakukan. Semua peristiwa yang terjadi di desa, baik kesakitan ataupun kematian akhirnya dikait-kaitkan dengan hal tersebut.
“Pagebluk, mas. Mpun kalih tahun mboten wonten merdi dusun. Kemarin ada yang meninggal dua orang hampir bersamaan. Sakniki malah sami mlebet rumah sakit. Nek dereng wonten Emblikan utawi Lenggeran mboten ajeng tenterem masyarakat ngriki.” ujar salah seorang warga yang diamini warga lain.