Dari STA Memorial Lecture yang didakan Akademi Jakarta
Perpustakaan HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Senin, 21 Mei 2012, menjelang acara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Memorial Lecture, disampaikan oleh Prof JE Sahetapy. Saya sengaja mampir ke dalam perpustakaan. Di sana ada Soetardji C. Bachri, penyair, K Usman, wartawan, novelis. Di meja satunya, Martin Aleida, mantan wartawan senior Tempo, penulis Cerpen. Martin saya kenal sebagi sosok jurnalis, kental dengan reportase mengingat.
“Bagaimana ketua Ketua Umum PWI Reformasi? ” sambut Martin.
Saya tertawa, lalu menjawab, apanya yang direformasi, kini dominan wartawan amplop, terima uang dianggarkan di APBD, APBN? Bagaimana dengan keberpihakannya. Media pun ada terindikasi bagian dari masalah? Misalnya masalah penggelapan pajak di grup medianya sendiri?
Hadirin di ruang perpustakaan itu tertawa. Tardji, presiden penyair itu wajahnya kecut.
Jabatan yang ditanyakan Martin memang pernah saya emban setahun pada 2006 lalu. Posisi itu saya kembalikan ke organisasi PWI – Reformasi, mengingat terlalu berat mengemban embel-embel reformasi tadi, medan kejurnalistikan bak kata saya ke Martin tadi.
Adalah Almarhum Boediman S. Hartoyo, juga wartawan senior Tempo, memotivasi saya maju mengendalikan organisasi itu. Boediman salah satu guru menulis, selain Amarzan Lubis - - sosok suhu bagi kawan-kawan di Tempo. Saya acap mengintip langgam menulis Martin yang cair. Bertemu dengan mereka itu bagaikan oase tersendiri, seakan pulang meneguhkan hati agar bekerendahan minat terus membaca, terus menulis.
Menjelang Pukul 20, di lobby Teater Kecil, di bangunan paling baru di kawasan TIM itu, sekilas tampak banyak pengunjung. Namun begitu memasuki ruang teater, suasana terasa lengang. Kendati di deretan kursi depan sudah tampak menghadap panggung Sjafii Maarif, JE Sahetapy dan Taufik Abdullah. Taufik Ketua Akademi Jakarta, tuan rumah acara malam itu. Hanya sekitar 20% kursi terisi.
Event lecture itu dibuat Akademi Jakarta rutin. Sebelumnya tampil Jusuf Kalla dan BJ Habibie. Tentulah kehadiran JE Sahetapy menggelitik minat. Jika khalayak banyak menyimak rencana acara ini, pastilah akan berbondong orang hadir mendengar paparan JE Sahetapy, professor doktor hukum, konsisten mengedepankan hati nurani. Anda tentu ingat jika dia bicara di Indonesia Lawyer Club (ILC) TVOne. Ia meninggikan nada melafalkan tikus di lema politikus.
Setelah Taufik Abdullah memberikan sambutan, Buya Sjafii menjelaskan singkat jenaka biodata JE Sahetapy. “Sosok Sahetapy yang sudah putus urat takutnya menyampaikan kebenaran,” ujarnya.
Dan masuklah acara pokok itu. JE Sahetapy yang sengaja datang dari Surabaya, berbaju batik coklat lengan panjang dan pantalon hitam. Iya menenteng tas hitamnya ke pangggung, yang banyak berisi kliping. Sekelebat ingatan saya tertuju kepada sosok Reberto Benigni, sutradara film Italia La Vita Bella, yang selalu tampil humor satir.