Mohon tunggu...
Muhammad Riswan Hulalata
Muhammad Riswan Hulalata Mohon Tunggu... Mahasiswa -

"Sejak lahir hingga dewasa hidup di lingkungan dan tempat yang berbeda, terlanjur mencintai dunia fotografi dan saat ini sedang menekuni dunia jurnalistik"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toa, Cahaya, dan Gemuruh

14 Juni 2016   12:55 Diperbarui: 14 Juni 2016   15:26 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hai kompasianer, kali ini saya akan mengulas kembali cerita ramadhanku tahun kemarin, berhubung kompasiana membuka rubrik THR Tebar Hikmah Ramadhan (bukan Tunjangan Hari Raya) jadi saya mencoba berbagi kembali kepada khalayak biar puasanya terhibur dan berjalan lanjar-lancar saja.

SEBENARNYA saya tidak mahir merangkai kata. Tak jua pandai beretorika, layaknya politisi dan artis infoteitmen. Saya juga bukan sosok yang pintar mengolah kemampuan diri terkait perkara tulis menulis. Meski memang keseharian saya setahun belakangan ini, tak lepas dari kerja mengutak-atik gadget, menekan tombol Qwerty, menyusun kalimat hingga jadi berita, lalu dikirim ke email redaktur, untuk diperiksa sebelum di post.

Tapi pengelola media arusutara.com ini tiba-tiba mengirim pesan BBM lalu meminta saya (sebenarnya memaksa) untuk menulis. Rupanya yang menjadi penyebabnya adalah, dia sempat memantau status BBM saya yang nongol di RU saat sahur tadi malam.  Ya, sederet status yang saya buat sekadar turut meramaikan keributan segala jenis flora dan fauna yang dilekatkan warga BBM kepada PLN (kasihan PLN ya).

Singkat kata, saya akhirnya menulis. Dan to the point saja, ini adalah tentang dilema. Dan ngomong-ngomong soal dilema, saya ingat lagu berjudul Dilema Cinta milik Ungu. Itu lho, band yang gitarisnya sudah kita kenal sebagai Enda orang Perkamil Manado. Tahu kan? Juga vokalisnya yang sekarang sudah jadi wakil walikota Palu. Pasti pada kenal to, apalagi dedek-dedek qliquers. Hehee..

Saya tidak sedang membahas soal lagu itu. Apalagi mempertanyakan, kenapa lagu itu diberi judul Dilema Cinta. Saya yakin Enda dan kawan-kawannya sesama Ungu, tidak sedang dalam keadaan dilema seperti yang saya rasakan.

Jika dilema Ungu Band dalam lagu itu adalah bimbang soal perasaan terhadap kekasih yang terlanjur menyakiti namun terlanjur pula dicintai, maka dilema yang saya rasakan bertepatan dengan bulan suci ramadhan adalah soal Toa, Cahaya, dan Gemuruh.

Dan langsung saja saya buka bahwa, di satu sisi, saya kurang nyaman dengan serangan Toa dari berbagai penjuru Posko Ramadhan. Terlebih itu sering terjadi di malam sunyi yang tentram bak malam Lailatulqadar. Dan cara untuk bisa terbebas dari terjangan itu hanya ada di tangan PLN, yakni main saklar jelang santap sahur. Ah, syukurlah. Meski ini juga berarti, saya harus menyadari sedang kehilangan cahaya, energi, dan sumber daya.

Tapi jangan lupa. Ini di Boltim (Bolaang Mongondow Timur - SULUT). Hampir setiap rumah punya genset. Kehilangan dengung Toa di angkasa, bukan berarti Anda sudah lolos dari suara – suara yang membahana badai. Ingat, masih ada gemuruh genset pengganti gemuruh Toa. Telinga dan batin kita (yang minta keadilan juga di bulan puasa) sepertinya harus ekstra kerja keras untuk tetap menghormati dan menghargai mereka yang gemar bertugas di corong Toa.

Tadi malam, ketika Toa saling bersahut-sahutan menggelegar di udara, tiba-tiba nuansa senyap yang syahdu secepat kilat mengungkung. Suara-suara yang membahana itu rupanya lenyap oleh jubah sakti PLN yang mantap mengurung dan membekap segala energi yang ada di atas muka bumi Boltim. Saya sedang menyantap menu sahur ketika itu. Apakah pembaca bisa menebak apa yang tiba-tiba saya rasakan? Di satu sisi, saya bahagia dengan lenyapnya teriakan-teriakan di angkasa, namun di satu sisi, tulang mujair hampir masuk menembus kerongkongan.  Sedangkan di satu sisi lagi, saya harus segera ke dapur menstater genset, hingga bergemurulah isi rumah.

Menjalani ibadah puasa memang krass tamang. Jangan coba-coba bagi yang bermental krupuk. Puasa tidak cocok bagi mereka yang punya gendang telinga tipis. Kalo AA Gym ngomong jagalah hati, maka di bulan puasa, itu harus ditambah menjadi, jagalah telinga, jangan sampai tipis.

Maka, toa, cahaya,dan gemuruh genset, adalah dilema yang harus kita lalui untuk tetap menuntaskan ibadah ramadhan. Kita harus ikhlas, sabar dan tawakal menghormati mereka yang suka tereak-tereak dari 5 penjuru corong toa. Sebab membangunkan orang yang (sebenarnya) sudah bangun sahur, adalah pahala berlipat ganda yang bisa menjadi logistik pangganjal dosa 11 bulan ke depan. Selamat ramadhan.

 

Boltim, Juni 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun