Bila ditanya tentang hal yang melekat pada Kampung Baduy, tentu kita menjawab sesuai dengan pandangan umum. Bahwa kampung yang terletak di wilayah Provinsi Banten ini adalah satu diantara kampung yang masih terbelakang. Kampung yang belum tersentuh kemajuan zaman. Kampung yang belum mengenal baca-tulis. Anak-anaknya belum mengenal makanan moderen sejenis agar-agar atau keripik kentang.
Pandangan umum yang bertahan puluhan tahun itu  tidak lagi berlaku. Saat ini Kampung Baduy mengalami perubahan. Gelombang besar bernama kemajuan zaman juga mengusik tatanan kehidupan masyarakat Baduy. Kampung ini tak lagi "terbelakang". Keseharian masyarakat tak beda dengan kita. Mereka mengkonsumsi mie instan, fried chiken, juga merasa gelisah saat kuota kartu telepon habis .
Kesan itu terasa begitu kuat. Dalam tiga kesempatan bertandang ke sana, saya menjumpai keadaan yang hampir sama. Anak-anak belia menjajakan diri sebagai "porter", yang menawarkan diri membawakan bawaan kita. Para pedagang asong yang menggenggam HP. Di kampung pun tak sulit mencari peranti kebersihan badan. Warung-warung di sana menyediakan sabun, sampho dan pasta gigi. Padahal barang-barang tersebut  terlarang berada di sana, pada masa-masa sebelumnya.
Masyarakat Baduy pun kini telah akrab dengan budaya baca. Anak-anak mendapatkan kesempatan belajar. Di sekolah formal, atau di tempat lain. Salah seorang tokoh masyarakat Baduy mengungkapkan hal ini. Dengan Bahasa Indonesia yang baik, ia berkomunikasi dengan lancar. Gayanya hampir sama dengan pemandu wisata yang memandu kita di tempat-rempat wisata.