Mohon tunggu...
Ivone Dwiratna
Ivone Dwiratna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang hamba TUHAN

Believe, Belajar, Bertindak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi Lain Debt Collector (1): Kerasnya Hidup, Bukan Kerasnya Hati

11 April 2016   09:00 Diperbarui: 25 April 2016   03:02 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah terpikirkah anda, mengenai profesi Debt Collector? Executor? Profesi ini banyak mendapat sorotan dan image negatif dari masyarakat. Dalam tulisan saya ini, saya ingin mengajak Pembaca untuk memahami mereka secara pribadi dan melihat sisi-sisi lain dari mereka. Ada beberapa sahabat saya yang menarik untuk diceritakan mengenai kisah hidupnya, perjuangannya, dilemanya dan bagaimana cara berfikir mereka. Kisah perjuangan mereka bertahan hidup dengan segala keterbatasan, bagaimana hati mereka sesungguhnya dan bagaimana saat titik balik kehidupan mereka datang lalu mengubah mereka menjadi sahabat-sahabat saya yang menginspirasi.

Dan untuk kesempatan awal edisi 1 ini, saya ingin mengupas kisah hidup seorang sahabat saya yang kita sebut saja Pak T. Terima kasih sudah berkenan mengijinkan berbagi cerita dan kesemua kisahnya sebagaimana yang telah diutarakan pada saya, sudah saya paparkan disini ya Pak... 

(Mohon maaf bilamana ada kesalahan dalam pemaparan, nama atau apapun dalam isi kisah ini...)

KERASNYA HIDUP, BUKAN KERASNYA HATI 

Pak T berusia 40 tahunan, lelaki berperawakan biasa dan terlihat ramah ini tidak memiliki ciri-ciri seorang debt collector. Tutur katanya yang humoris dan penampilannya yang rapi, jauh dari bayangan masyarakat akan debt collector yang kasar, hitam, tinggi besar, galak, berangasan dan tidak memiliki sopan santun. Pak T orang Lampung. Orang tuanya berasal dari Jawa dan jadi ‘kamituwo’ (orang yang dituakan) di daerahnya.

Dengan segenap harapan, Pak T muda merantau ke Jakarta untuk kuliah. Akhirnya ia kuliah dan menjalani kehidupan sebagaimana mahasiswa biasa. Sampai akhirnya 6 bulan kemudian ia menerima telegram dari ayahnya, jika ayahnya sudah tidak mampu lagi membiayai kuliahnya termasuk pula biaya hidup T di Jakarta. Betapa sedihnya T. Ada rasa nelangsa, karena kakak-kakaknya dibiayai sampai selesai kuliah, tapi mengapa saat ia yang kuliah ternyata perekonomian keluarganya jatuh. Kehidupan harus tetap berjalan, ia sudah bertekad untuk berhasil di perantauan, bagaimanapun beratnya.

Setelah itu, ia berfikir untuk mencari nafkah. Pekerjaan pertama yang terpikir adalah menjadi tukang ojek. T mendatangi Pangkalan Asem-Cempaka Putih, tempat ojek mangkal. Ia tidak punya motor, tapi ia tidak mau menyerah. Ia coba bertanya pada ojek-ojek lain disana barangkali ada yang bisa dipinjam motornya untuk ngojek. Untunglah ojek disana baik dan mau memberitahu sekaligus mengantarkannya menemui seorang dokter yang tinggalnya di daerah Cempaka Wangi. Dokter tersebut sangat baik, ia mau menolong T. T bisa pinjam motornya dengan setoran Rp.1.500,00 – Rp.2.500,00 per hari. Dan tanpa disangka, ia malah dipinjami juga uang untuk bayar kuliah dan dibayar kemudian pada si dokter yang baik hati tadi dengan mengangsur. Dalam sehari, T bisa mendapat uang sekitar Rp.10.000,00. Uang untuk bertahan hidup dan mengangsur uang kuliah. 

Dengan penghasilan yang pas-pasan, T hanya bisa mendapatkan sepetak tempat untuk tidur. Sebuah meja dan tempat tidurnya yang sempit, menempel di dinding berjendela kawat ayam yang hanya ditutup kelambu. Setiap kali hujan, air akan tampias dijendela itu. Demikian pula jika angin berhembus keras, maka hawa dingin masuk menusuk tulang T yang lelah dan seringkali masih harus tidur sambil terbalut lapar...

Setiap hari T ngojek mulai subuh sekitar jam 04.00-16.00. Lalu jam 17.00-21.00 kuliah. Selewatnya, ia ngojek lagi hingga lewat tengah malam. Setiap hari ia hanya tidur 2-3 jam dan makan seadanya. Pekerjaan ojek ini ia jalani sekitar 6 bulan.

T muda bukan orang yang mudah menyerah, selama mengojek setiap hari ia mendisiplinkan diri untuk membuat 3 lamaran pekerjaan. Setiap hari ia mencatat lowongan pekerjaan dari koran yang ada di warteg tempatnya biasa mangkal ngojek, membuat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya ke kantor pos Jl. Mardani, Jakarta. Setelah 3 bulan, yang berarti sekitar 90 lamaran pekerjaan, akhirnya ada juga panggilan kerja untuknya dari sebuah Bank Swasta di Jakarta. Ternyata panggilan kerja tersebut untuk menjadi security sebuah klenteng di daerah Sunter. Klenteng tersebut didirikan oleh boss besar pemilik Bank Swasta tersebut dan letaknya di perumahan yang sama dengan tempat tinggal boss besar tersebut. Untuk bertahan hidup, T muda setiap harinya membawa pulang sesajian, hidangan-hidangan dan buah-buahan yang boleh dibawa dari klenteng tersebut setelah selesai sembahyangan. Hal ini ia lakukan selama 6 bulan, lalu T resign dan beralih bisnis ambil gula dari Lampung dan membawanya masuk ke Jawa.

Setiap hari, T rajin kuliah dan ia juga bekerja. Mendistribusikan gula di Pasar Ciung, Kemayoran. Setiap Jumat, Sabtu, Minggu ia ikut ambil gula ke Lampung, T jadi kernetnya. T muda tidak bisa santai, setiap hari ia harus mencari makan untuk bertahan hidup dan berjuang melanjutkan cita-citanya. Bahkan karena lelahnya, T pernah ketinggalan truk yang ia kerneti akibat terlelap di dak. T hidup sangat susah, ia bahkan tidak punya uang untuk membeli baju. Baju yang ia pakai untuk kuliah dan sehari-hari adalah baju pemberian dari pedagang-pedagang di pasar. Kaos promosi yang bertuliskan merek sabun, penyedap rasa dan kecap. Itulah bajunya kuliah. Boro-boro untuk beli baju, untuk makan saja sulit. T hanya sanggup bertahan dengan pekerjaan ini selama 3 bulan. Meskipun hasilnya lebih banyak dari menjadi security atau ojek, tapi pekerjaan ini sangat melelahkan, karena ia merangkap kernet sekaligus kuli angkutnya untuk mendapatkan uang tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun