Mohon tunggu...
Ivan Patu Bagaskara
Ivan Patu Bagaskara Mohon Tunggu... Hubungan Internasional l Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Yogyakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional 'Veteran' Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelaah Efektivitas AADMER di Kawasan Asia Tenggara

9 Oktober 2025   11:37 Diperbarui: 9 Oktober 2025   11:37 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dampak topan Haiyan (Sumber: kompas.com))

Asia Tenggara adalah kawasan yang diberkahi kekayaan alam sekaligus diuji oleh berbagai bencana alam. Letaknya yang berada di Cincin Api Pasifik menjadikan kawasan ini rentan terhadap gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami, sementara perubahan iklim meningkatkan intensitas banjir serta badai tropis. Di tengah kerentanan ini, ASEAN berupaya meningkatkan solidaritas regional melalui ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), sebuah kesepakatan yang disahkan pada tahun 2005 dan mulai berlaku 2009. Tujuannya jelas: memperkuat kerja sama, koordinasi, dan kesiapsiagaan kawasan terhadap bencana. Namun setelah lebih dari satu dekade berjalan, pertanyaan besar muncul seberapa efektif sebenarnya AADMER dalam menjawab tantangan kemanusiaan di kawasan yang hampir setiap tahunnya dilanda bencana?

Secara kelembagaan, AADMER telah menghasilkan sejumlah capaian penting. Pembentukan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) pada tahun 2011 menjadi tonggak utama. Lembaga ini bertugas mengoordinasikan bantuan lintas negara saat bencana melanda. Melalui sistem Disaster Monitoring and Response System (DMRS), AHA Centre mampu memantau bencana secara real-time dan mengoordinasikan distribusi logistik ke negara terdampak. Misalnya, saat Topan Haiyan melanda Filipina pada 2013, AHA Centre menjadi pusat koordinasi untuk menyalurkan bantuan dari negara-negara anggota. Begitu pula ketika gempa Lombok dan Palu terjadi pada 2018, lembaga ini memainkan peran penting dalam memfasilitasi dukungan regional.

Namun di balik capaian tersebut, efektivitas AADMER masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Sebagian besar persoalannya bersumber dari karakteristik ASEAN itu sendiri yang menjunjung tinggi prinsip non-interference dan state sovereignty. Prinsip ini, meski menjaga stabilitas politik antaranggota, justru sering memperlambat respon bencana. Negara terdampak harus terlebih dahulu menyampaikan permintaan resmi sebelum bantuan lintas batas dapat dikirim, sebuah prosedur yang terkadang membuat bantuan datang terlambat. Dalam konteks kemanusiaan, keterlambatan beberapa jam saja bisa berarti kehilangan nyawa. Seperti yang terjadi dalam banjir besar di Myanmar tahun 2015 dan badai Vongfong di Filipina, respon regional dinilai lamban karena terganjal birokrasi diplomatik.

Selain itu, masih ada kesenjangan kapasitas antar negara anggota. Laporan AHA Centre tahun 2023 menunjukkan bahwa negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki sistem tanggap bencana yang jauh lebih baik dibanding Laos, Kamboja, atau Myanmar. Hal ini menciptakan ketergantungan pada segelintir negara dalam operasi bantuan, yang berisiko menimbulkan ketidakseimbangan peran dalam solidaritas ASEAN. Dalam jangka panjang, perbedaan kapasitas ini dapat melemahkan semangat kolektif yang menjadi dasar berdirinya AADMER.

Faktor pendanaan juga menjadi tantangan serius dalam implementasi AADMER. Meskipun ASEAN telah membentuk ASEAN Disaster Management and Emergency Relief Fund, kapasitas keuangannya masih terbatas untuk menanggapi bencana berskala besar yang sering melanda kawasan. Laporan ASEAN Secretariat dan AHA Centre menunjukkan bahwa kebutuhan pembiayaan untuk kesiapsiagaan dan tanggap darurat di Asia Tenggara masih jauh melampaui jumlah dana yang tersedia di tingkat regional. Akibatnya, ASEAN masih bergantung pada dukungan dari mitra eksternal seperti Jepang, Uni Eropa, dan badan-badan PBB seperti UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) untuk memperkuat pendanaan dan logistik kemanusiaan di lapangan. Ketergantungan ini menunjukkan bahwa meskipun AADMER telah membangun kerangka kelembagaan yang baik, kemandirian finansial ASEAN dalam menghadapi bencana masih menjadi tantangan yang perlu segera diselesaikan.

Meski begitu, tidak adil jika menilai AADMER hanya dari kelemahannya. Dalam banyak kasus, keberadaannya telah memperkuat koordinasi dan berbagi pengetahuan antarnegara. Program ASEAN Emergency Response and Assessment Team (ERAT) misalnya, telah mengirimkan lebih dari 100 personel ke berbagai lokasi bencana sejak 2010. Program ini tidak hanya menyalurkan bantuan tetapi juga melatih personel nasional agar memiliki standar respon yang setara di seluruh kawasan. AADMER juga menjadi platform penting bagi integrasi kebijakan nasional dan regional dalam penanggulangan bencana, serta mendorong keterlibatan masyarakat sipil dan sektor swasta.

Namun tantangan terbesar AADMER justru terletak pada bagaimana ia menyesuaikan diri dengan dinamika bencana modern yang semakin kompleks. Krisis iklim global, urbanisasi cepat, dan bencana lintas batas seperti kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia memperlihatkan bahwa penanganan bencana kini tidak bisa hanya bersifat reaktif, melainkan harus preventif dan kolaboratif lintas sektor. Dalam hal ini, AADMER perlu lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi, memperluas basis data risiko, dan memperkuat diplomasi kemanusiaan agar tidak terjebak dalam formalitas semata.

ASEAN memiliki potensi besar untuk menjadi model penanggulangan bencana berbasis solidaritas regional. Tetapi untuk mewujudkannya, AADMER harus berani meninjau ulang prinsip lama yang menghambat efektivitas kerja sama. Non-interference seharusnya tidak dimaknai sebagai pembatas tindakan kemanusiaan, melainkan diadaptasi agar tidak mengorbankan keselamatan manusia atas nama kedaulatan. Seperti yang diungkapkan Sekretaris Jenderal ASEAN, Kao Kim Hourn, pada Forum AADMER 2024, "Bencana tidak mengenal batas negara, dan respons kita pun harus melampaui batas itu."

Pada akhirnya, bencana alam menjadi cermin yang memantulkan sejauh mana ASEAN memahami makna solidaritas sesungguhnya. AADMER bukan sekadar dokumen perjanjian, tetapi ujian moral dan politik bagi negara-negara Asia Tenggara, apakah mereka benar-benar siap berbagi tanggung jawab dan bergerak cepat ketika satu di antara mereka jatuh dalam krisis. Jika prinsip kemanusiaan bisa berdiri sejajar dengan kedaulatan, maka AADMER tidak hanya menjadi simbol kerja sama, tetapi juga bukti nyata bahwa ASEAN mampu berdiri bersama dalam menghadapi tantangan .

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun