Mohon tunggu...
Iva Amalia Ramadhani
Iva Amalia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa

sering memperhatikan situasi sekitar yang dilalui di sekitar saya

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

ADAPTASI GAGAL PEDAGANG TRADISIONAL: Swalayan yang Ditolak Karena Kurang Transparan dan Fleksibel

6 Oktober 2025   20:24 Diperbarui: 6 Oktober 2025   21:33 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Modernisasi Pasar dan Realitas di Lapangan

Dalam dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia gencar melakukan revitalisasi pasar tradisional. Program ini hadir sebagai jawaban atas meningkatnya persaingan dengan pasar modern seperti minimarket, supermarket, hingga pusat perbelanjaan besar yang menawarkan kenyamanan, kebersihan, dan tata kelola profesional. Salah satu upaya yang ditempuh adalah menghadirkan model pasar bergaya swalayan untuk pedagang lokal. Harapannya, masyarakat tidak lagi berbelanja di tempat yang kumuh, semrawut, atau sulit diakses, melainkan di pasar yang lebih tertata, higienis, dan modern.

Namun, kenyataan sering kali berbanding terbalik. Banyak swalayan versi tradisional yang dibangun pemerintah justru sepi pengunjung, bahkan ditinggalkan oleh pedagang itu sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya kegagalan adaptasi, di mana sistem swalayan yang ditawarkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.

Transparansi yang Dipertanyakan

Salah satu masalah utama adalah kurangnya transparansi. Di pasar tradisional, harga terbentuk secara terbuka melalui interaksi antara penjual dan pembeli. Mekanisme tawar-menawar membuat konsumen merasa terlibat dan mendapatkan harga yang adil sesuai kemampuan. Pedagang pun bisa menyesuaikan harga untuk menjaga relasi baik dengan pelanggan.

Sebaliknya, swalayan tradisional mencoba menerapkan sistem harga tetap. Namun, tidak semua harga yang dipajang benar-benar jelas dan konsisten. Ada pedagang yang masih “menyembunyikan” harga atau memberi perbedaan kualitas barang tanpa penjelasan transparan. Akibatnya, konsumen merasa kehilangan kendali sekaligus curiga terhadap mekanisme harga yang berlaku. Transparansi yang menjadi kekuatan swalayan modern justru gagal diwujudkan dalam versi lokal ini.

Hilangnya Fleksibilitas

Pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli, melainkan ruang sosial yang sarat fleksibilitas. Konsumen bisa membeli sayuran seharga dua ribu rupiah, berhutang pada pedagang langganan, atau meminta bonus berupa cabai dan daun bawang. Fleksibilitas inilah yang menjadikan pasar tradisional relevan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Di sisi lain, swalayan menghapus hampir seluruh bentuk fleksibilitas ini. Harga tidak bisa ditawar, jumlah barang sudah ditentukan dalam kemasan, dan pembayaran harus dilakukan penuh di kasir. Bagi sebagian konsumen, sistem ini terasa kaku dan “tidak manusiawi”. Mereka lebih memilih pasar tradisional yang sederhana tapi memberi ruang interaksi sosial dan kemudahan sesuai kebutuhan harian.

Budaya Lokal yang Terabaikan

Kendala lain yang sering muncul adalah desain dan tata kelola swalayan yang tidak sinkron dengan kebiasaan masyarakat. Misalnya, pasar swalayan sering kali melarang kendaraan masuk ke area belanja, padahal di pasar tradisional, motor bahkan becak bisa masuk sampai depan kios. Bagi masyarakat yang terbiasa belanja cepat dengan kendaraan roda dua, larangan ini menjadi hambatan.

Selain itu, kebersihan swalayan tradisional pun kerap gagal dipertahankan. Berbeda dengan supermarket besar yang memiliki standar kebersihan ketat, banyak pasar swalayan yang kondisinya tidak jauh berbeda dari pasar tradisional biasa. Lantai becek, sampah menumpuk, dan bau menyengat masih menjadi keluhan, sehingga konsumen tidak melihat perbedaan signifikan antara pasar lama dan pasar baru.

Dampak Sosial-Ekonomi

Kegagalan adaptasi ini berdampak pada dua pihak sekaligus: pedagang dan konsumen.

  • Bagi pedagang, pindah ke swalayan sering berarti biaya tambahan untuk sewa tempat atau pengelolaan, sementara keuntungan tidak meningkat. Akhirnya mereka memilih kembali ke pasar tradisional lama atau bahkan membuka kios di pinggir jalan.

  • Bagi konsumen, swalayan tradisional tidak menawarkan nilai tambah. Harga lebih tinggi, fleksibilitas hilang, namun kenyamanan pun tidak sepenuhnya didapat. Konsumen kelas menengah ke atas lebih memilih berbelanja di supermarket besar, sementara masyarakat biasa tetap setia ke pasar tradisional.

Alhasil, pasar swalayan tradisional terjebak di “zona abu-abu”: tidak cukup modern untuk bersaing dengan ritel besar, dan tidak cukup tradisional untuk mempertahankan pelanggan lama.

Jalan Tengah: Hibridisasi Pasar

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih humanis, fleksibel, dan partisipatif. Modernisasi pasar sebaiknya tidak hanya berfokus pada infrastruktur, melainkan juga kultur dan perilaku masyarakat. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:

  • Kolaborasi dengan pedagang lokal dalam pengelolaan, sehingga mereka merasa memiliki pasar, bukan sekadar penyewa kios.

  • Sistem harga yang lebih adaptif, misalnya tetap ada label harga sebagai patokan, namun masih memungkinkan diskon atau negosiasi terbatas.

  • Fasilitas yang sesuai kebiasaan lokal, seperti area parkir motor luas, akses mudah, serta ruang interaksi sosial.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
    Lihat Entrepreneur Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun