Tiba-tiba saja, Melati, sebut saja begitu, mengajak saya mampir ke rumahnya, setelah acara halal bi halal keluarga besar itu selesai. Sebagai Abang yang dituakan, saya tentu menyanggupi. Permintaan Melati yang begitu mendesak, tentu ada yang hal yang urgen. Soalnya, ketika saya suruh ceritakan saja di acara halal bi halal itu, Melati menjawab, tak ingin merusak suasana acara. Jika nanti, tanpa bisa ditahan, bisa-bisa menangis.
Di rumahnya, Melati bercerita, bahwa dia sedang mengajukan proses perceraian pada sang Suami. Saya diminta saran, apa saja yang harus dilakukannya setelah itu? sebisa mungkin bisa menemaninya dalam proses perceraiannya.
Masih menurut Melati, Suaminya telah melakukan kesalahan delapan tahun yang lalu, menikah siri dengan wanita lain ketika Suaminya kerja di luar kota. Pernikahan siri itu, telah berakhir lima tahun lalu, ketika tugas Suaminya berakhir dan kembali ke kota dimana mereka kini berada.
Tak ada yang berubah pada Suaminya, hingga kini mereka memiliki cucu. Suaminya, type Suami ideal, tanggung jawab sama keluarga, sayang sama anak-anak dan Melati. Yang jadi masalah, mengapa Suaminya harus menceritakan “perselingkuhan” itu? kebohongan dan perselingkuhan itu, begitu menyakitkan. Membuat Melati terlukai, kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Hingga akhirnya, melahirkan dendam. Kini, Melati sampai pada kesimpulan, harus bercerai.
Saya terhenyak. Begitu dahsyat akibat dari ketidak mampuan pasangan memaafkan kesalahan pasangannya. Pertimbangan usia perkawinan yang begitu lama, kasih dan sayang dan perhatian sang Suami selama kurun waktu puluhan tahun, tidak jadi pertimbangan lagi. Yang ada hanya rasa marah, marah yang dipelihara, hingga melahirkan sikap dendam. Ingin menghancurkan pasangan yang begitu lama hidup bersama. Bahkan sudah menua bersama-sama.
Sebuah hasil study yang dipublikasikan pada Journal of Family, yang bertajuk Forgiveness and Relationship Satisfaction, disebutkan bahwa, dalam suatu hubungan, kurangnya kemampuan untuk memberiikan maaf –memaafkan-, dapat mengakibatkan sulitnya tercapai penyelesaian konflik. Rendahnya kemampuan untuk memberi maaf, mampu menjadi pemicu munculnya emosi negative, dan berujung pada bertambahnya konfilk antar pasangan.
Idealnya, antara kedua pasangan berusaha keras untuk meningkatkan rasa rendah hati. Sehingga mampu menciptakan kemampuan untuk memberikan maaf. Masalahnya, jika kedua pasangan tidak memiliki kemampuan tersebut. Dapat berakibat sebagai,
- Meningkatnya emosi negative dalam hubungan, seperti rasa marah dan sakit hati
- Berkurangnya kemampuan untuk menikmati kemesraan hubungan antara kedua pasangan
- Akibatnya, hubungan kedua pasangan dapat mengakibatkan rasa stress, depresi dan rasa cemas.
- Mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa ketergantungan antara kedua pasangan. Rasa inilah yang sering memicu terjadinya perceraian antara kedua pasangan.
Lalu, bagaimana solusi jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan impian kedua pasangan, ketika mereka mengarungi bahtera rumah tangga? Solusinya tak ada yang dapat memuaskan kedua pasangan. Kecuali, jika kedua pasangan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perubahan sikap dan cara pandang, seperti:
satu, Menyadari bahwa semua manusia pernah berbuat salah.
Katakana pada diri sendiri, apakah saya sempurna? Tidak pernah melakukan kesalahan?. Jika jawabannya tidak sempurna dan pernah berbuat salah. Maka, demikian juga halnya dengan pasangan saya. Jika saya salah dan berharap agar pasangan saya memberiikan maaf dan melupakan kesalahan saya. Maka, demikian juga yang diharapkan oleh pasangan saya.
Dua, Jangan mencari-cari kesalahan pasangan.