Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Risma di Metro: Saya Laki-laki Saya Menangis

17 Februari 2014   21:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di kamar, saya tidak punya televisi. Televisi terakhir yang saya miliki pemberian dari saudari saya yang pindah kerja ke kampung. Akhirnya televisi itu sejak dua tahun lalu juga tidak pernah terpakai sampai September 2013. Akhirnya dirusak oleh tikus. Bagian belakangnya dibobol dan akhirnya saya tinggalkan ketika pindah rumah. Sehingga, tidak punya kesempatan untuk menyaksikan tayangan televisi. Kadang beberapa menit ketika tiba di kantor sebelum jam kerja dimulai. Duduk menyaksikan siaran berita. Setelah itu berlalu.

Beruntung hari ini, koneksi internet di kampus teramat ramah. Beberapa status tentang Ibu Risma, Walikota Surabaya yang tampil di Mata Najwa, menarik perhatian. Sayapun ikut menonton kembali rekaman yang ada di You Tube itu. Sepanjang 58 menit tayangan berjalan dengan sangat baik. Koneksi internet tidak pernah menghambat. Anugerah Allah untuk menyaksikan tayangan ini. Setelah usai, koneksi internet kembali seperti biasa. Bahasa gaulnya woles alias selow yang berarti lambat.

Risma memberikan inspirasi bahwa saat menjadi pejabat publik, harus menyerahkan keseluruhan apa yang dimiliki untuk rakyat yang dipimpin. Sehingga “apa-apa” itu tidak harus lagi dimiliki ketika saatnya tiba untuk meninggalkan jabatan. “Walikota dunia terbaik” demikian kata yang digunakan Daeng Najwa untuk meyakinkan dan meminta janji Ibu Risma untuk tidak mundur. Tetapi Ibu Risma tidak mau mengucapkan janji itu dengan alasan menunggu inspirasi yang datangnya dari Tuhan. Sebaliknya, Ibu Risma mengatakan “bukan siapa-apa”. Najwa bertanya tentang peluang untuk maju sebagai calon presiden sebagaimana unggulan yang menempatkannnya sebagai oraang nomor satu untuk menandingi Pak Jokowi, Ibu Risma hanya mengatakan “tidak”. Masih banyak orang Indonesia lain yang lebih hebat dan mampu menjadi pucuk pimpinan.

“Walikota hanya satu”, maka tumpuan harapan hanyalah pada satu orang. Dengan demikian ketika ada orang yang menderita di bawah kepemimpinan Sang walikota, maka itu akan menjadi pertanyaan di hari kemudian. Beban inilah yang sangat disadari Ibu Risma sehingga tidak mau lagi untuk menjadi seorang pejabat publik. Justru sepanjang acara kadang yang muncul adalah jawaban dengan air mata. Seorang ibu yang mengakui bahwa “emosinya selalu menjadi bagian dari dirinya”. Inilah sosok yang menunjukkan bahwa memimpin harus juga menyertakan emosi. Sebagaimana dalam bagian tayangan acara ketika Ibu Risma memarahi investor yang tidak membangun sebagaimana dengan perencanaan.

Satu hal lagi, di akhir acara justru Ibu Risma yang meminta maaf kepada Daeng Najwa. Ini berarti bagi saya kerendahan hati dan kebersahajaan sesungguhnya merupakan bagian yang integral dengan kepribadian beliau. Sehingga acara Mata Najwa sesungguhnya bukan ajang show off tetapi justru menjadi cerita yang menginspirasi betapa menjadi pemimpin adalah bagian dari janji untuk mengusahakan kesejahteraan orang lain.

Kalau itu disebut blusukan, maka sesungguhnya Ibu Risma memilihnya karena itu semata-mata adalah petunjuk Tuhan. Menjadikan kepemimpinan yang dipandu oleh kemampuan ruhaniyah. Bukan karena ilmu politik atau semata-mata untuk pencitraan sebagaimana politisi lain lakukan. Beberapa politisi lain hanya sibuk mencitrakan dirinya, sementara jejak rekamnya kita juga tidak tahu hal kecil apa yang sudah dilakukan untuk rakyat.

Tayangan ini kadang menghanyutkan saya untuk turut juga bergelimang dengan air mata. Walau itu tertahana, tetapi cukup menggenangi kelopak mata. Menyaksikan bagaimana seorang pemimpin yang menjadikan rakyatnya sebagai dasar dalam mengambil sebuah kebijakan dan aksi. Bukan karena dirinya tetapi untuk kepentingan orang banyak. Dalam lingkungan yang terbatas, kadang menangis bagi laki-laki sebuah pantangan. Namun menonton acara ini, aspek emosional turut mengiringi. Apalagi ketika menyaksikan Ibu Risma juga menangis dengan linangan air mata. Serta ketidakuasaan untuk membendung keharuan.

Sebuah acara yang menampilkan sosok yang perlu menjadi acuan. Dimana relatif susah untuk menemukannya di belantara politik Indonesia. Baru dalam hitungan jari. Ada Pak Jokowi, Pak Ahok, Kang Emil, dan Ibu Risma. Selebihnya, tidak memahami masalah di masyarakat sehingga tidak bisa mengambil tindakan apa-apa. Semoga pemimpin-pemimpin muda terlahir dengan niat untuk membantu kesejahteraan masyarakat.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun