Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Saya memulai hidup ini dengan menulis puisi dan cerita pendek, kemudian jadi wartawan, jadi pengelola media massa, jadi creative writer untuk biro iklan, jadi konsultan media massa, dan jadi pengelola data center untuk riset berbasis media massa. Saya akan terus bekerja dan berkarya dengan sesungguh hati, sampai helaan nafas terakhir. Karena menurut saya, dengan bekerja, harga diri saya terjaga, saya bisa berbagi dengan orang lain, dan semua itu membuat hidup ini jadi terasa lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menanti Waktu Berbuka dengan Ikan-ikan yang Tak Puasa

2 April 2023   15:07 Diperbarui: 2 April 2023   15:13 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nostalgia Ramadan di masa kanak-kanak di kampung. Foto: Isson Khairul

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.

Berbuka di Rumah, Sahur di Surau

Itu petikan sajak Sajak Seonggok Jagung karya penyair Indonesia paling fenomenal, WS Rendra. Sajak itu ditulis pada 19 Agustus 1977. Ketika itu, saya baru saja lulus SMP di Kota Bogor, Jawa Barat. Karena sesuatu dan lain hal, saya dibawa pulang ke kampung halaman, ke sebuah desa di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Di kampung halaman itulah, saya melanjutkan ke SMA, yang pada saat itu mungkin satu-satunya SMA di sana. Sebagaimana anak-anak kampung lainnya, saya pun mengaji dan tidur di surau tiap malam. Bangunan surau itu sepenuhnya terbuat dari kayu. Lantainya juga berupa papan. Posisinya berdekatan dengan masjid, yang merupakan masjid utama bagi seluruh warga kampung saya.

Kami anak-anak kampung, sudah harus tiba di surau, sebelum shalat magrib. Tiap hari demikian, termasuk hari Sabtu dan Minggu. Seringkali kami janjian untuk datang lebih cepat. Dengan demikian, kami bisa main bola plastik di halaman surau. Semua berlangsung gembira, penuh canda-tawa.

Begitu Ramadan tiba, ada pergeseran waktu kegiatan. Kami berbuka puasa di rumah masing-masing, baru kemudian ke masjid untuk shalat isya dan tarawih berjamaah. Selanjutnya, kami anak-anak kampung, tidur di surau, sebagaimana halnya hari-hari biasa.

Bagaimana dengan makan sahur? Bagi kami, itulah momen terindah Ramadan di masa kanak-kanak. Kepala kampung sudah membuat jadwal, beberapa keluarga menyiapkan serta mengantarkan makan sahur untuk anak-anak surau. Itu dilakukan secara bergiliran, selama bulan Ramadan.

Ada kalanya, ada keluarga yang tidak memungkinkan untuk mengantarkan makan sahur yang sudah mereka masak ke surau. Beberapa orang dari kami, menjemput makanan tersebut dengan sepeda. Kegembiraan suasana makan sahur bersama-sama di surau, sungguh mengesankan. Bahkan tak terlupakan, meski sudah berlalu puluhan tahun.

Guru mengaji di surau, sudah menjadi bapak kami. Ibu-ibu di kampung, yang tiap Ramadan mengirimkan makan sahur ke surau, seluruhnya sudah menjadi ibu kami. Keguyuban yang demikian, secara alamiah, menumbuhkan rasa kekeluargaan di antara kami. Merasa satu keluarga besar sekampung.

Ini banda dan jembatan di depan rumah. Foto: Isson Khairul
Ini banda dan jembatan di depan rumah. Foto: Isson Khairul

Menanti Berbuka di Banda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun