Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

[Catatan Pertanian] Produksi Padi 2015, Turun 467,982 Ton

3 Januari 2016   10:19 Diperbarui: 3 Januari 2016   10:49 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah yang memiliki jawaban atas sejumlah pertanyaan tersebut? Ini adalah bagian dari apa yang disebut transparansi informasi. Dalam hal sebaliknya, publik diguyur informasi tentang Joko Widodo memberikan traktor, Joko Widodo menghadiri panen raya, Joko Widodo mengunjungi gudang Bulog, Joko Widodo ketemu pedagang beras di pasar, sampai Joko Widodo masuk sawah. Barangkali inilah yang disebut politik beras, politik petak umpet. Ada bagian yang dengan sengaja ditutupi. Ada bagian yang juga dengan sengaja digembar-gemborkan.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A. Chaves, menyatakan, ketimpangan di Indonesia kini adalah yang tertinggi dalam sejarah. Itu ia nyatakan di Ballroom Djakarta Theatre, pada Selasa (8/12/2015). Ekonom Faisal Basri menyebut ketimpangan di Indonesia kian memburuk. Dan, kita tahu, ketimpangan bukan hanya terjadi di bidang ekonomi, tapi juga di ranah informasi. Bila dikorelasikan dengan anugerah Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2015, yang diserahkan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pada Selasa (15/12/2015), Kementerian Perdagangan dan Bulog memang tidak mendapatkan anugerah tersebut.

Bahkan, Kementerian Perdagangan tidak termasuk ke dalam 10 besar kategori kementerian yang transparan. Bulog juga tidak termasuk 10 besar kategori lembaga non-struktural yang transparan. Kementerian Pertanian berada di peringkat ke-6 untuk kategori kementerian yang transparan. Artinya, keterbukaan informasi kepada publik, belum mendapatkan porsi sebagaimana mestinya pada ketiga lembaga yang terkait dengan beras tersebut. Barangkali hal ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi ketiga lembaga itu, dalam konteks transparansi informasi.

Menteri PU dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono (tengah) dengan para narasumber Kedaulatan Air: Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Pertanian Pending Dadih Permana, Staf Ahli Bidang Energi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Arief Yuwono, Staf Khusus Gubernur Jawa Tengah Sunaryo, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Azwar Maas, dipandu moderator Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo. Foto: kompas.com

Waspada Harga Beras

Meski beras impor sudah masuk ke berbagai wilayah tanah air, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mencatat, rata-rata nasional harga beras medium Rp 10.749 per kilogram. Itu dikemukakan Dwi Andreas Santosa kepada Kompas pada Senin (28/12/2015). Ia berpesan, pemerintah perlu mewaspadai kenaikan harga kebutuhan pokok pada tahun 2016. Karena, harga empat komoditas pokok, yaitu beras medium, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras, telah mencetak rekor baru tahun 2015.

Sebenarnya, bila pihak berwenang mencermati dengan seksama berbagai komponen yang terkait dengan pertanian, tentu publik tidak akan terjebak pada eforia tidak impor beras, yang tidak berdasar. Serapan pupuk bersubsidi oleh petani adalah salah satu komponen yang bisa dijadikan indikator. Kepala Bagian Humas PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), Ade Cahya, mengemukakan kepada Kompas pada Senin (28/12/2015), bahwa serapan pupuk bersubsidi oleh petani, tidak maksimal. Masih banyak pupuk yang tersisa di gudang.

Hal tersebut sesungguhnya bisa menjadi pertanda bahwa ada sebagian petani yang tidak mengolah sawahnya. Atau, ada sebagian petani yang menunda waktu tanam. Pertanda tersebut juga bisa dikorelasikan dengan keringnya sejumlah waduk di berbagai wilayah di tanah air pada waktu musim kemarau lalu. Beberapa faktor tersebut tentulah akan memengaruhi jumlah produksi padi. Nah, bila saja pihak berwenang mencermati serta menganalisanya dengan seksama, tentu tidak perlu berkoar-koar tentang surplus beras. Realistis saja. Nyatanya produksi padi tahun 2015, turun 467,982 ton, dibandingkan produksi padi tahun 2014.

Selain tidak maksimalnya serapan pupuk bersubsidi, ada pertanda lain yang bisa dijadikan acuan. Pada Sabtu (22/8/2015), Kompas dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), menggelar dialog Teras Kita di Balairung UGM, Yogyakarta. Pada kesempatan itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, memaparkan, luas lahan pertanian kita, sekitar 7,1 juta hektar. Kita memiliki 230 bendungan besar dan 91 waduk. Seluruh infrastruktur pengairan tersebut, hanya mampu menjamin air untuk wilayah pertanian, tak sampai 1 juta hektar.

Sekali lagi, atas dasar apa Presiden Joko Widodo menggembar-gemborkan tentang panen yang berlimpah, tentang kita surplus beras, padahal nyatanya produksi padi tahun 2015, turun 467,982 ton, dibandingkan produksi padi tahun 2014? Optimis ya monggo tapi mbok ya cermat memahami realitas.

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun