Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, berbincang-bincang dengan wanita nelayan di PPS Cilacap, pada Selasa (30/6/2015). Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman, Indroyono Soesilo (pada 12/8/2015 digantikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli) mengadakan kunjungan kerja di Kabupaten Cilacap, pada Sabtu (01/11/2014). Tapi, hingga Kamis (3/9/2015), kapal nelayan mengantre lebih dari setengah hari, untuk bisa mendapatkan bahan bakar minyak. Tahukah para petinggi itu bahwa SPBB di PPS Cilacap hanya satu? Foto: humasppscilacap.com, print.kompas.com, dan panoramio.com Â
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Ini di Indonesia, di pesisir selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kapal mengantre lebih dari setengah hari, untuk bisa mendapatkan bahan bakar minyak, seperti pada Kamis (3/9/2015)[1]. Padahal, ini sedang musim panen ikan, setelah berbulan-bulan mereka tidak melaut, karena cuaca buruk.
Entah bagaimana perasaan mereka, ketika menyaksikan –itu pun kalau mereka mau menyaksikan- para petinggi negeri ini dengan berapi-api berpidato tentang poros maritim, spirit maritim, kesejahteraan nelayan, potensi laut, industri perikanan, hingga tol laut, di televisi. Cerita tentang proyek laut yang senantiasa disampaikan dengan gegap-gempita, barangkali tidak masuk di akal mereka. Jangankan untuk menjadi poros maritim dunia, bahkan untuk sekadar urusan penyediaan bahan bakar nelayan saja, alangkah susahnya. Nelayan tidak minta minyak pada pemerintah, mereka akan membelinya dengan harga yang berlaku. Sebegitu sibuk kah pihak yang berwenang, sampai tak sempat memperhitungkan rasio jumlah nelayan dengan ketersediaan tempat mengisi bahan bakar?
Bahan Bakar Bunker
Kita mengenal SPBU yang merupakan singkatan dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Jumlahnya cukup banyak. Bahkan, di area tertentu, sampai berderet-deret dan malah ada yang berdekatan. Pertamina, untuk memperluas ketersediaan SPBU, menggandeng banyak mitra, agar ikut membangun SPBU. Saat ini, sebagaimana diungkapkan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ahmad Bambang, pada Jumat (13/3/2015), jumlah SPBU milik Pertamina di Pulau Jawa, mencapai 6.000 unit[2].
Para pelaut, yang sehari-hari menangkap ikan, lebih akrab dengan SPBB, yang merupakan singkatan dari stasiun pengisian bahan bakar bunker. Para pemilik kapal ikan dan nelayan yang menggunakan perahu bermesin, mengisi bahan bakar di SPBB, untuk kebutuhan melaut. Mekanisme pengisian ya hampir sama dengan pengisian pada kendaraan bermotor di SPBU. Di kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC), hanya ada satu SPBB. Fasilitas pemasok bahan bakar satu-satunya itu, dikerubuti oleh 3.935 unit kapal dan perahu nelayan tradisional bermesin 17 PK, serta 485 kapal berbobot mati di atas 30 gros ton (GT).
Pengurus Asosiasi Pengusaha Kapal Indonesia (APKI) Cilacap, Sanpo, pada Kamis (3/9/2015), mengatakan, keberadaan satu SPBB di kompleks Pelabuhan Perikanan tersebut, sangat kurang. Karena itulah, kapal ikan dan perahu bermesin untuk menangkap ikan, sampai harus mengantre setengah hari lebih, demi mendapatkan bahan bakar. Dalam konteks usaha perikanan, realitas tersebut tentulah sangat buang-buang waktu dan tidak efisien. Apalagi kalau ada gangguan teknis atau kekurangan pasokan bahan bakar ke SPBB tersebut, maka antrean pastilah lebih panjang dan lebih lama.
Memang, ini hanya urusan kecil, bila dibandingkan dengan perkara waktu tunggu barang alias dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang sampai melibatkan orang-orang gede sekelas Presiden dan Menteri. Tapi, dalam konteks spirit maritim, terutama untuk meningkatkan usaha perikanan laut, apa yang dihadapi para nelayan di pesisir selatan Kabupaten Cilacap itu, sudah masuk kategori ketidakpedulian. Itu salah satu contoh, betapa aparat yang berwenang, sesungguhnya tidak peduli pada kemajuan perikanan, sekaligus tidak peduli pada kehidupan nelayan.
September Panen Ikan