Jam 3 kami mengantre di tenda dengan tertib agar bisa mengambil jatah sahur secara prasmanan. Hanya saja ada petugas yang memantau agar distribusi lauk tetap terkendali. Lalu saya ambil kopi hitam panas atau minuman probiotik yang tersedia di meja sebelah. Kadang juga disediakan buah yang cepat sekali habisnya.
Menjelang Subuh kami lanjutkan iktikaf dalam masjid. Lalu melaksanan shalat Subuh berjemaah, disambung kultum bakda Subuh, dan mengaji sampai matahari terbit. Kami melakukan shalat Dhuha dan bersiap pulang. Perut kenyang, pikiran tenang. Oh, sungguh momen yang sangat saya rindukan! Â Â
5 | Anjangsana
Hal kelima yang saya rindukan saat Ramadan adalah anjangsana atau mengunjungi sanak dan tetangga. Sebenarnya tidak tepat selama Ramadan tetapi ketika Ramadan telah usai. Di kampung kami tradisi yang selama ini berjalan adalah kami berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat selepas Isya saat takbir berkumandang. Jadi begitu ada pengumuman bahwa esok akan ada shalat Idulfitri, kami pun gembira dan bersiap berpesta keliling desa ke rumah-rumah.
Yang saya sebut pesta adalah makan sepuasnya di rumah warga yang belum tentu ada saat kondisi biasa. Kami bisa makan kacang bawang tanpa dibatasi. Bisa lanjut di rumah berikutnya. Bahkan kami boleh membawanya sebagai bekal saat berjalan nanti. Berpapasan dengan teman-teman sebaya di jalan sungguh memori yang tak lekang dimakan zaman. Bertukar cerita dan melempar senyum atau pekikan jadi kenangan manis saat dewasa.
Itulah 5 hal yang saya rindukan selama Ramadan. Kerinduan semakin membuncah karena kelimanya nyaris sulit dilakukan pada saat ini ketika kita masih dikepung oleh pandemi. Namun saya optimistis, setidaknya dengan menuliskannya, saya sudah dilingkupi kegembiraan luar biasa, sambil berdoa wabah akan segera musnah. Bagaimana dengan sobat Kompasiana, adakah yang punya pengalaman unik seperti saya? Â Â