Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Monarki di Pengasingan, Bagian Sejarah Eropa

17 Mei 2013   22:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:25 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengasingan (exile) merupakan salah satu dinamika dalam sejarah Eropa. Tidak hanya menyebabkan bahaya, penghinaan, dan pengeculian terus menerus. Pengasingan juga menyediakan kesempatan untuk transformasi, pengaruh, dan tindakan. Dalam buku “Reflection and Exile”, Edward Said mengatakan bahwa kebudayaan Barat modern melibatkan diri dalam sebagian besar dalam pengasingan, kepergian keluar, dan pengungsian. Said mengatakan bahwa terdapat bermacam-macam bentuk pengasiangan tersebut. Said merujuk kepada gelombang massa yang melarikan diri dari perang, penganiayaan atau kemalangan individu karena menentang sesuatu yang menobatkan yang bersangkutan sebagai “pahlawan” pengasingan: ada banyak kajian dan sejarah yang berisi kepahlawanan, romantika, kejayaan, bahkan kebenaran dalam periode kehidupan di pengasingan.

Banyak pengkaji sejarah yang tertarik untuk meneliti pengungsian dan perpindahan orang-orang pada abad ke-19 dan ke-20. Sejarah migrasi menunjukan salah satu jalan yang penting untuk memahami pengasingan. Asal muasal industrialsiasi dan revolusi politik pada abad ke-19, merupakan tingkat mobilitas manusia yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya yang disebabkan oleh ratusan ribu orang yang meninggalkan kampung halamannya yang sejumlahnya melesat secara dramatis pada abad ke-20. Palang Merah Internasional memperkirakan bahwa sampai dengan tahun 2000 diasumsikan adanya 500 juta pengungsi di seluruh dunia. Kalangan pengkaji sejarah masih mendiskusikan sebab pengungsian itu dan bagaimanakah dampaknya dalam aspek khusus di masyarakat.

Tulisan ini akan mencoba membahas aspek lain dari masalah pengasingan tersebut, khususnya yang menyangkut keberadaan monarki (kerajaan). Namun demikian, pada umumnya ada 3 bentuk reservasi dalam menyelidiki pengasingan monarki yang dapat dijelaskan dengan mudah. Meskipun monarki di pengasingan acapkali dipercaya sebagai pengecualian dari pemerintahan, tiap-tiap negara di Eropa, dengan pengecualian di Swedia, mempunyai pengalaman sehubungan dengan penegakan kekuasaan mereka di pengasingan sepanjang awal atau selama abad modern. Monarki di pengasingan nampaknya sebagai kecenderungan umum dibandingkan mungkin apa yang diasumsikan. Sekurang-kurangnya terdapat 40 kerajaan yang terlempar dari negaranya sepanjang abad ke-19 dalam masa 1789-1918. Jumlah itu dapat ditambahkan dengan yang terjadi di masa sebelumnya seperti yang dialami oleh Henry Tudor (1485); Stanlislas Lescynki (Polandia, 1709 dan 1736), Kaisar Bonaparte (1815 dan 1848), Carlist (Spanyol, 1834), Karageorgevich (Serbia, 1858), dan Raja Milan (1903). Daftar-daftar tersebut sekaligus juga menunjukkan kesulitan untuk menentukan apa yang dimaksud pengasingan monarki. Ada monarki yang melakukan pengasingan tetapi kemudian kembali lagi dalam kekuasaan asal, tetapi ada pula yang gagal memperoleh lagi mahkota kekuasaan. Hal yang terakhir inilah yang kemudian sering terjadi pada bangsawan yang mengalami pengasingan tersebut.

Dapat ditambahkan, bahwa para bangsawan dalam pengasingan sering dipercaya mempunyai hubungan yang istimewa dan ketimpangan ketidakpastian serta kesulitan-kesulitan lain dalam pengasingan. Pengasingan monarki kadang-kadang menjadi tanda pemberhentian kekuasaan mereka, seperti kasus Napoleon III (1871) dan William II (1918). Faktanya, sejumlah besar bangsawan mengalami kesulitan dan krisis personal saat mereka dalam pengasingan. Mereka mengalami kegelapan dalam meraba kedudukan dan personalia mereka di masa depan, seringkali terjadi selama bertahun-tahun.  Louis XVIII berpindah-pindah selama 9 kali dalam 15 tahun sebelum menetap di Inggris dan tergantung kepada kejadian politik di sekitarnya.

Akan tetapi ada juga bahwa monarki yang awalnya tersingkir dan berada dalam pengasingan kemudian menjadi pemenang. Seperti kembalinya Louis Napoleon ke Prancis (1848). Pada tahun 1866, Raja Johanann dari Saxony; juga penganut Katolik yang memerintah di negara Protestan seperti Raja James II dan Raja James III, mampu kembali ke negaranya setelah 6 bulan berada di pengasingan Austria karena menerima unifikasi Jerman.

Menarik dicermati juga, kalangan monarki yang berada dalam pengasingan menciptakan atau mempertahankan tradisi-tradisi asal, termasuk dalam membangun hubungan kekerabatan. Raja Charles II mempertahankan keberadaan Geraja Anglican. Raja Charles VI berdiam secara terpisah dengan Raja Spanyol di Wina setelah 1711. Raja Louis XVIII menyelenggarakan pemakaman kenegaraan untuk isterinya Ratu Marie Josephine of Savoy di Inggris (1810). Dinasti Guelph menjalin hubungan perkawinan yang spektakuler, seperti dilakukan oleh Duke of Cumberland yang menikah dengan Putri Thryra dari Denmark (1878) dan  Pangeran Ernst August yang mengawini Putri Viktoria dari Prusia (1913).

Setelah bubarnya Uni Soviet dan negara-negara satelitnya, banyak kalangan di pengasingan yang kembali ke tanah air mereka. Kembalinya kalangan dari pengasingan ini merupakan hal yang sangat menarik. Pada tahun 1992, Presiden Yeltsin mengundang kalangan yang di pengasingan ini untuk  kembali ke Rusia untuk “menyelamatkan peradaban kita.” Di negara lain, monarki yang tersingkir karena revolusi komunis kembali ke tanah air setelah hampir 40 tahun di pengasingan, seperti Raja Michael yang kembali ke Romania (1992) dan Raja Simeon ke Bulgaria (1996).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun