Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kepailitaan dan Usaha Asuransi

29 Mei 2013   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:50 2482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka usaha perasuransian telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan sekaligus menjadi salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat dengan cara menerima pengalihan berbagai risiko yang dihadapi anggota masyarakat (tertanggung). Penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab sesuai dengan kaidah dan mekanisme yang lazim berlaku dalam penyelenggaraan usaha perasuransian pada umumnya memungkinkan dicapainya perlindungan yang diinginkan oleh konsumen. Lebih daripada kedua tujuan tersebut, penyelenggaraan usaha yang melindungi kepentingan masyarakat pemegang polis (yang merupakan pemilik sebagian besar dana perusahaan asuransi) terbukti merupakan hal utama yang menyebabkan usaha perasuransian yang berkelanjutan.

Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan:

Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan asuransi tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 20 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dengan mempertimbangkan karakteristik usaha asuransi, maka pengajuan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sudah seharusnya hanya dapat dilakukan melalui Menteri Keuangan sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Kewenangan pengajuan permohonan pailit yang dimiliki Menteri Keuangan tidak mengurangi kewenangan Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan tidak merupakan sesuatu kewenangan yang bersifat eksklusif karena kewenangan tersebut juga telah diberikan kepada Bank Indonesia untuk industri Perbankan dan BAPEPAM untuk industri Pasar Modal.

Patut juga diwaspadai apabila pengajuan permohonan pailit yang tidak terlebih dahulu melibatkan peran regulator dapat menyebabkan upaya pemailitan terhadap perusahaan asuransi dipergunakan sebagai sarana untuk posisi tawar bagi tertanggung dalam “memaksakan” suatu klaim yang belum diakui atau sudah ditolak perusahaan asuransi agar menjadi layak bayar.

Selain itu, pemailitan terhadap perusahaan asuransi yang diajukan oleh satu-dua “kreditor” yang tidak melibatkan regulator dapat mengakibatkan kerugian bagi pemegang polis secara keseluruhan, karena pemegang polis (tertanggung) lainnya tidak memperoleh jaminan atas sebagian risiko yang telah dialihkan kepada perusahaan asuransi dimaksud. Dengan kata lain, permohonan kepailitan yang semata-mata hanya didasarkan kepada kepentingan satu-dua kreditor tanpa melibatkan adanya peran regulator dapat mengancam kelangsungan usaha perusahaan asuransi yang lain dan lembaga keuangan pada umumnya.

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan:

“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (5) tersebut, telah memberikan hak khusus tidak saja kepada Perusahaan Asuransi (agar langkah hukum pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadapnya tidak secara langsung diajukan ke Pengadilan Niaga, akan tetapi harus lebih dahulu diajukan kepada Menteri Keuangan sebagai otoritas keuangan selaku Pembina dan Pengawas yang melakukan tugas Pembinaan dan Pengawasan terhadap perusahaan- Perusahaan Asuransi dalam melakukan usaha perasuransian yang sehat dan bertanggungjawab di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian), tetapi hak khusus tersebut juga diberikan kepada Perusahaan Reasuransi, Dana pensiun dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang kepentingan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun