Tak ada berita yang lebih menghebohkan di beberapa hari terakhir ini selain kasus korupsi di lingkungan perusahaan pertambangan minyak milik negara, Pertamina.
Hanya karena ada berita terbaru berupa bencana banjir yang lumayan parah di Jabodetabek, yang membuat pemberitaan kasus korupsi Pertamina jadi berkurang.
Namun demikian, media massa dan masyarakat diharapkan tetap mengawal agar kasus korupsi di atas diusut tuntas dan diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Beberapa media menjuluki kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina tersebut, yakni Pertamina Patra Niaga, sebagai korupsi ugal-ugalan.
Mungkin, istilah ugal-ugalan dipakai untuk menggambarkan betapa akhirnya korupsi itu menyengsarakan rakyat, khususnya konsumen Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian BBM Umum (SPBU) Pertamina.
Bahkan, kasus korupsi jumbo itu berawal karena konsumen mengeluhkan buruknya kualitas BBM Pertamax yang mereka beli dan menyebabkan kendaraan rusak.
Banyaknya temuan tersebut di masyarakat, menggerakkan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan kajian secara mendalam.Â
Akhirnya, Kejagung menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023.Â
Bagaimana modus dugaan korupsi yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar, Â yakni Rp 193,7 triliun tersebut?
Kompas.id (27/2/2025) menulis bahwa kasus dugaan korupsi pengadaan minyak mentah di Pertamina menjadi salah satu skandal keuangan terbesar yang tengah diusut Kejagung.Â
Pada periode 2018-2023, Kejagung menduga Pertamina melakukan praktik impor minyak mentah melalui broker dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga minyak yang diproduksi di dalam negeri.