Bahan bakar minyak (BBM) sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat kita. Bukankah sekarang hampir semua orang sudah punya kendaraan, paling tidak motor butut?
Maka, bila kita sering melihat panjangnya antrean di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), tentu bisa dimaklumi. Saolnya, ketersediaan BBM adakalanya terbatas, sedangkan yang membutuhkan terbilang banyak.
Persediaan BBM yang terbatas lazimnya terjadi pada jenis BBM yang disubsidi oleh pemerintah, yakni premium dan solar. Premium sudah tidak ada lagi saat ini, dan penggantinya adalah jenis pertalite yang juga disubsidi.
Pemandangan panjangnya kendaraan yang antre BBM, terkadang bisa mengular sampai 1 kilometer, sangat terasa di luar Pulau Jawa.
Jelas, jika kita hitung kerugian para pengantre yang kehilangan waktu hingga beberapa jam, tentu akan sangat besar. Bayangkan, jika waktu tersebut dimanfaatkan untuk hal produktif, barangkali sudah mendatangkan penghasilan.
Kenapa masyarakat masih mau antre BBM? Ya, itu tadi, karena harganya yang murah, terpaut cukup jauh dengan harga BBM yang tidak disubsidi.
BBM subsidi 2022 ini di satu sisi sangat memberatkan bagi pemerintah, mengingat harga di pasar internasional yang naik signifikan, terutama setelah meletusnya perang Rusia-Ukraina.
Tapi, di sisi lain, sulit bagi pemerintah untuk menaikkan tarif BBM bersubsidi. Bisa-bisa malah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat yang penghasilannya relatif turun sejak pandemi melanda negara kita.
Masalah lain adalah bagaimana mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi, mengingat disinyalir masih cukup banyak warga yang tergolong mampu secara ekonomi, namun sengaja memilih BBM bersubsidi untuk kendaraannya.
Bukan hanya itu, diduga juga ada yang bermain dengan membeli BBM bersubsidi dan menyetoknya, lalu dijual ke industri yang membutuhkan.
Soal ada pedagang kecil yang membeli pakai jeriken dan menjual secara eceran yang dikemas dalam botol, ini sudah terjadi sejak dulu.