Jumat pagi (23/8/2019) saya menyimak sepotong berita dari salah satu stasiun televisi. Saya sebut sepotong, karena tidak utuh menontonnya dari awal. Yang saya lihat adalah beberapa mahasiswa Papua sedang diwawancarai reporter televisi. Kemudian kamera berpindah ke sebuah sekolah yang juga ada pelajar dari Papua.
Apakah sudah di-setting sebelumnya atau memang begitu adanya, terlihat di halaman sebuah kampus dan juga di halaman sekolah, tak jelas apakah SMA atau SMK, sekelompok remaja berbaur akrab, baik yang dari Papua maupun yang bukan Papua.
Terus reporter televisi bertanya pada remaja yang dari Papua apakah pernah mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya. Beberapa orang menjawab bahwa mereka tidak pernah mendapatkan perlakuan rasis atau persekusi dari teman-temannya.
Hal yang menurut pelajar Papua kurang nyaman adalah masih seringnya ia menerima pertanyaan yang menyiratkan  betapa remaja di kota-kota besar di Jawa tempat banyak anak Papua menuntut ilmu, ternyata belum mengenal Papua. Padahal sekarang sudah zaman teknologi canggih.
Makanya mahasiswa asal Papua kaget saat ditanya temannya apakah di Papua ada televisi? Ada juga yang bertanya apakah di Papua ada bandara? Saya yakin pertanyaan tersebut keluar dari hati yang tulus, sekadar ingin tahu, tanpa ada maksud melecehkan.
Hanya saja menurut saya pertanyaan itu konyol karena secara tak langsung menganggap kondisi di Papua sangat jauh tertinggal. Ya, gak salah juga kalau Papua disebut relatif masih tertinggal, tapi tak sampai sebegitunya.Â
Jangankan televisi, smartphone seri terbaru saja banyak dimiliki masyarakat Papua yang tinggal di berbagai kota di kawasan paling timur Indonesia itu.Â
Saya kebetulan sudah tiga kali ke Papua, termasuk provinsi Papua Barat sebagai hasil pemekaran. Jayapura, Biak, Merauke, Manokwari, dan Sorong sudah pernah saya kunjungi. Semuanya kota-kota yang maju.
Bahkan khusus Jayapura dan Sorong tak beda dengan kota-kota besar di Jawa. Simbol-simbol kemajuan langsung terlihat seperti keberadaan mal, hotel berbintang, kendaraan yang memacetkan jalan utama, dan banyaknya tempat makan yang merupakan jaringan franchise ternama seperti di kota besar lainnya.
Namun karena ketidaktahuan, atau lebih tepatnya kecuekan, sebahagian dari masyarakat yang berdomisili di kawasan yang lebih maju, terlalu underestimate ke saudara-saudaranya yang dari Papua.Â
Dalam soal naik pesawat, saya berani mengatakan bahwa persentase masyarakat Papua yang pernah terbang dengan burung besi itu lebih tinggi dari di Jawa. Tapi ini persentase dari total penduduk, bukan jumlah absolut penumpang pesawat.