Saya terhenyak mendengar curhat teman saya, yang sebetulnya juga kerabat jauh saya. Ia datang ke Jakarta karena mendapat pekerjaan hampir bersamaan waktunya dengan saya, hanya beda beberapa bulan di tahun 1986.
Sejak itu kami menjadi warga ibu kota, dan di sela-sela kesibukan urusan pekerjaan dan keluarga masing-masing, kami tetap saling bertemu, rata-rata setiap 3 bulan, di rumahnya, di rumah saya, atau kami janjian di tempat lain.
Dalam setiap pertemuan biasanya ada saja masalah yang terjadi di kampung, dulu orang tua kami bertetangga di Payakumbuh, Sumatera Barat, yang diangkat sebagai topik pembicaraan.
Memang tanpa bermaksud menepuk dada, kami yang tinggal di perantauan ini relatif sering dimintai bantuan keuangan oleh famili di kampung. Alhamdulillah, kami pun selagi ada rezeki, ikhlas saja membantu. Kami menganggap sudah kewajiban untuk berbagi pada yang kurang mampu.
Nah, suatu kali seorang famili di kampung mengirim pesan panjang pada teman saya ini. Intinya, dulu di tahun 1970-an, ibunya teman saya meminjam perhiasan emas yang kalau dirupiahkan saat ini seharga sekitar Rp 50 juta pada ibu si pengirim pesan.
Sampai sekarang, menurut si pengirim pesan, utang tersebut masih belum terbayar. Padahal orang tua masing-masing sudah lama meninggal.
Kalau melihat perjalanan kehidupan dua keluarga tersebut, cerita itu masuk akal, mengingat orang tua si pengirim pesan dulunya tergolong mampu dan orang tua teman saya dulunya keluarga sederhana.
Tapi sekarang keadaan berbalik. Teman saya relatif bagus kondisi keuangannya, sebaliknya familinya di kampung hidupnya pas-pasan. Makanya, seperti yang telah disinggung di atas, teman saya ini sering berbagi rezeki dengan familinya tersebut.
Namun meskipun cerita itu masuk akal, ada keanehan mengingat tidak adanya bukti tertulis utang piutang tersebut. Lagi pula kenapa baru sekarang setelah hampir 50 tahun sejak diklaim timbulnya utang dimaksud dan saat para pelaku dan saksi sudah lama meninggal dunia, baru diungkit?
Dengan segala kebesaran jiwa, teman saya bersedia membayar, walaupun hati kecilnya menyangsikan apakah dulu ibunya betul-betul berutang. Kalau ya, kenapa ibunya tidak bercerita, padahal semasa hidupnya ibunya selalu terbuka membahas kondisi keuangan keluarga, terutama setelah anaknya dewasa.
Demi cintanya pada almarhumah ibunyalah, yang akhirnya menggerakkan hati teman saya untuk membayar. Siapa tahu ibunya alpa bercerita, bukan bermaksud menutup-nutupi.