Sehabis makan siang di Rumah Makan Lamun Ombak, salah satu rumah makan yang representatif di Sumatera Barat, sekitar 6 km sebelum memasuki Minangkabau International Airport dari arah Bukittingi, saya tertarik melihat banyak sekali kotak amal berkaca tembus pandang di depan rumah makan.Â
Saya hitung-hitung di pintu masuk sebelah kiri ada sekitar 10 kotak. Di sebelah kanan juga sejumlah itu. Sebelumnya saat mau ke toilet di bagian belakang rumah makan terlihat pula sejumlah kotak amal.
Saya perhatikan lagi di setiap kotak ada tempelan tulisan masjid mana yang menitipkan kotak tersebut. Masing-masing kotak mewakili sebuah masjid. Tentu saja bagi pelanggan rumah makan yang mau menyumbang ke masjid punya beberapa pilihan. Boleh saja membagi rata dana yang akan disumbangakan ke semua kotak, sengaja memilih satu atau beberapa kotak tertentu saja, atau memasukkan uang secara acak saja ke salah satu kotak.Di setiap kotak terlihat jelas tumpukan uang yang telah terhimpun. Hampir seimbang besarnya tumpukan di setiap kotak. Hal yang menarik lagi, ternyata banyak juga uang kertas asing di kotak-kotak tersebut, terutama Ringgit Malaysia. Dugaan saya, para turis dari Malaysia yang memang mulai banyak melancong ke Sumatera Barat, menjadi penyumbang dari uang ringgit tersebut. Meskipun bisa juga berasal dari orang Minang yang pulang dari Malaysia
Setahu saya cara menitipkan kotak amal di rumah makan sudah banyak di temukan di seluruh tanah air. Tapi biasanya hanya ada satu atau dua kotak saja, dan lazimnya adalah dari masjid terdekat dari rumah makan tersebut atau masjid yang pengurusnya kenal dekat dengan pemilik rumah makan. Maka kalau Museum Rekor Indonesia tertarik untuk mendata, paling tidak Rumah Makan Lamun Ombak masuk salah satu nominasi pemegang rekor.
Namun menurut saya cara tersebut lebih baik ketimbang menjaring uang di jalanan, dengan mengharap para pengendara melempar uangnya ke jaring yang dipegang beberapa pemungut uang. Bahkan ada pula yang menyetop kendaraan untuk menadahkan kotak amalnya ke setiap mobil yang lewat. Cara ini kurang direkomendasikan karena berpotensi menghambat lalu lintas.
Sering pula kita menemukan metode door to door, petugas masjid yang lagi dibangun atau direnovasi berkeliling mengetuk pintu rumah-rumah yang dilewatinya, sambil mengunjukkan map yang berisi proposal atau surat pengantar untuk meminta donasi. Penyumbang boleh mengisi namanya di daftar penyumbang atau cukup menuliskan Hamba Allah. Proposal ini beredar juga dari kantor ke kantor, mal, dan tempat keramaian lainnya.
Sekali lagi, cara-cara mainstream seperti itu baik-baik saja adanya. Namun alangkah baiknya bila pengurus masjid mengembangkan kreativitasnya dalam upaya menggali dana untuk membangun atau merenovasi masjid, termasuk pula untuk mendanai berbagai program yang akan diselenggarakan masjid tersebut.
Idealnya semua masjid punya semacam unit ekonomi atau unit bisnis sebagai salah satu cara menghimpun dana. Masjid Sunda Kelapa di Menteng, Jakarta Pusat telah membuktikannya. Di masjid ini banyak anak muda yang menyalurkan berbagai ide positifnya.Â
Di samping melakukan pengajian rutin, mereka juga berkesenian, berolahraga. Â Ada pemancar radio, dan bahkan pernah mengadakan pagelaran musik jazz di halaman masjid. Penyewaan ruang serba guna untuk resepsi pernikahan di masjid termasuk laris.
Namun akan lebih baik kalau hal tersebut tidak sekadar disewakan, tapi dikelola langsung oleh koperasi masjid, sehingga menjadi lahan melatih kewirausahaan bagi jamaah serta bila memperoleh keuntungan, akan kembali ke jamaah.