Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Berdagang Secara Jujur dan Tahu Batas

13 Oktober 2017   03:14 Diperbarui: 31 Oktober 2017   14:28 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung tradisional (dok. commons wikimedia.org)

Saya punya seorang kakak laki-laki yang karena pernah menderita sakit kronis di saat remaja, akhirnya tidak menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah. Alhamdulillah, meskipun membutuhkan waktu sekitar 7 atau 8 tahun, kakak akhirnya bisa dikatakan sembuh, setelah bolak balik berobat, baik secara medis maupun pengobatan alternatif.

Pada tahun 1980-an awal, kakak sudah menginjak usia sekitar 25 tahun. Karena kakak tidak punya bekal ijazah pendidikan formal, tentu pilihan untuk menjadi pegawai negeri ataupun swasta sudah tidak mungkin. Agar kakak bisa hidup mandiri, warung kecil di depan rumah, yang tadinya menjadi sumber uang belanja tambahan bagi ibu, "diwariskan" kepada kakak.

Saat itu ayah masih berdagang di pasar kota Payakumbuh, Sumatera Barat, dan ibu adalah ibu rumah tangga biasa. Makanya ibu menggunakan teras di depan rumah, sekitar 1 km sebelum pusat kota Payakumbuh kalau dari arah kota Bukittingi, sebagai warung yang menjual aneka cemilan, minyak tanah, kayu bakar (saat itu masih banyak warga yang memasak pakai kayu bakar), dan rokok.

Namun karena ibu menjaga warung sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, warung tidak mengalami kemajuan, bahkan sering tekor karena uang yang ada terpakai untuk berbagai keperluan rumah tangga. Biasanya setiap habis lebaran, ayah menomboki agar ibu bisa kembali membeli stok barang yang akan dijual di warung.

Nah, begitu estafet manajemen warung berpindah ke kakak, tanpa kami (saudara-saudaranya) sadari, warung secara perlahan mulai mengalami kemajuan, paling tidak, tidak lagi ditomboki ayah setiap habis lebaran. Bahkan beberapa tahun setelah itu barang yang dijual bertambah banyak dengan disediakannya sayuran, minyak goreng, cabe, ikan teri, beras, dan bahan keperluan dapur lainnya. Aneka minuman dan makanan dalam kemasan, sandal jepit, bola plastik, juga dijual. Pokoknya mirip mini market tapi dalam versi tradisional, sesuai dengan zamannya di saat itu, di dekade 1980-an.

Harga murah, super murah malah, dengan keuntungan yang sangat tipis, menjadi salah satu faktor kesuksesan kakak. Tapi belakangan saya ketahui dari penjelasan beberapa pelanggan, yang membuat mereka tidak mau pindah ke lain "hati", di samping harga murah adalah karena kejujuran kakak. Jujur dalam timbangan dan takaran, bahkan sering pula melebihkan barang yang diserahkan kepada pembeli sebagai bonus. Jika barangnya kualitas nomor dua, kakak akan bilang nomor dua. Bila barang sudah beberapa hari dan tidak segar, kakak akan bilang sejujurnya. Dalam bahasa orang kantoran, kakak disebut mempunyai integritas.

Tentang harga super murah, tak jarang membuat saudara saya yang lain sampai kesal dan memberi arahan agar barang yang busuk atau rusak, itu kan akhirnya jadi biaya, dan harusnya terkompensasi dalam penetapan harga jual yang seharusnya dinaikkan sedikit. Toh di warung tetangga memang harganya lebih tinggi.

Saya yang saat itu masih kuliah di Fakultas Ekonomi dan merasa punya pengetahuan dari materi perkuliahan, mencoba memberikan masukan pada kakak, khususnya bagaimana menghitung harga pokok barang secara lebih akurat dan sekaligus menentukan harga jual yang layak, dalam arti memberi keuntungan sekaligus masih bisa bersaing dengan warung terdekat.

Tapi kakak tidak bergeming dan tetap setia dengan harga miring. Akhirnya kami sadar, kakak benar dengan prinsipnya. Buktinya taktik begini dan didasari kejujuran itu tadi, yang membawa kesuksesan. Barang jadi cepat berputar, dibeli pelanggan yang sebagian bahkan datang jauh dari rumah. Artinya pelanggan kakak bukan hanya warga sekitar rumah.

Kakak membeli barang ke sebuah toko grosir milik pedagang besar peranakan Tionghoa di pasar di pusat kota Payakumbuh. Ke pasar kakak berangkat naik delman atau angkutan kota, dan pulangnya naik becak yang muatannya menggunung berupa barang yang dibeli kakak. Becak di Payakumbuh memang becak barang dengan tempat barang di sisi kiri sepeda penarik becak.  

Melihat keuletan dan kejujuran kakak, tauke grosir tersebut sering menawari agar kakak membeli barang lebih banyak, dan si tauke bersedia dibayar belakangan setelah barang terjual di warung kakak. Tapi kakak selalu menolak. Tampaknya ini filosofi dagang yang dianut kakak, di samping kejujuran di atas, yakni tahu batas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun