Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sabun Tjap Tombak; Produk Lokal yang Terpental

14 Mei 2015   09:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:03 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi MEA dimulai. Masyarakat Ekonomi Asean membuat arus barang dan jasa, juga sumberdaya manusia, antar negara-negara ASEAN berlangsung tanpa hambatan. Kalangan industri domestik mulai mengkhawatirkan serangan dari perusahaan-perusahaan Singapura, Malaysia, Thailand yang daya saingnya di atas kita, bahkan juga Philipina dan Vietnam yang dalam beberapa hal sudah menyalib Indonesia.

Kekhawatiran indusri dalam negeri tersebut, dalam skala lebih kecil sebetulnya juga telah terjadi sejak sekitar 30 tahun terakhir, ketika industri skala nasional mematikan pelan-pelan industri skala provinsi, skala kabupaten, bahkan skala kecamatan. Dulu, sampai tahun 70-an, sebelum ada sabun yang mencuci "sendiri", di Sumatera Barat  dikenal sabun cuci batangan cap Tombak, buatan PT Hadis Didong, Padang.  Ada berbagai merek produk makanan kecil, minuman, es krim, rokok, korek api, minyak goreng, teh, kopi, dan sebagainya, yang semuanya buatan lokal dan beredar  di pasar setempat dan sekitarnya. Sekarang, kalau anda sempat keliling sampai ke pelosok desa di Sumatera Barat, makanan dalam kemasan kecil, atau produk keperluan sehari-hari dalam kemasan kecil, yang dijual di banyak warung di pinggir jalan, hampir semuanya buatan industri skala nasional dari Pulau Jawa. Jangan heran, kalau anak kecil yang masih ingusan makan es-krim atau biskuit seperti yang diiklankan di televisi. Para remaja minum kopi dan makan mie instan  yang iklannya gencar  di televisi. Mandi pakai sabun dan shampo yang di televisi lagi, dan seterusnya. Kue tradisional tidak sepenuhnya mati, cuma target market-nya berubah jadi sekadar oleh-oleh yang dibeli para wisatawan.

Saya ingat masa kecil ketika orang tua saya buka warung kecil di pinggir kota Payakubuh. Setiap hari Minggu, yang merupakan hari pasar  ( di kota lain misalnya Bukittinggi hari paarnya Rabu dan Sabtu ),  ibu saya ke pasar membeli berbagai kue lokal, yang nantinya akan disusun ulang ke dalam toples dan dijual eceran di warung kami. Ada kue kipang kacang, kerupuk ubi, kue sarang burung, kue dakak-dakak, dan sebegainya. Juga membeli beberapa pak rokok, korek api, dan beberapa batang sabut cap Tombak itu tadi, untuk dijual secara eceran. Bahkan kalau ada yang membeli sabun cap Tombak seperempat batang, ya kami layani juga dengan membelah sabun pakai pisau. Sekarang warung tersebut masih ada meski diurus oleh anggota keluarga yang lain. Tapi, ya, anda tahu sendirilah, barang yang dijual relatif sama dengan yang di jual di warung kecil kecil di Pulau Jawa, seperti minuman dalam kemasan botol atau kotak dan berbagai biskuit buatan Aroma, Khong Guan, dan sebagainya (Padahal, dulu ada pabrik biskuit Asia di Padang, yang sekarang telah almarhum).

Produk yang betul-betul mati, di samping sabun cuci cap Tombak di atas, ya berbagai industri minyak goreng skala rumahan, industri sepatu dan sandal, dan sebagainya. Kembali, sampai era 1970-an di beberapa kota di Sumatera Barat terdapat sepatu dan sandal buatan tangan, yang produknya laku di pasar setempat. Ada Sutan Kayo di Payakumbuh, ada Yap Yek di Bukittinggi, sekadar menyebut beberapa contoh. Pelanggan bisa mengorder pembuatan sepatu dengan mengukur kaki sendiri, seperti kita membuat baju di tukang jahit. Sekarang semua tinggal kenangan, digilas industri skala besar. Memang, di provinsi lain, ada juga yang bertahan seperti yang dapat kita lihat di  "kampung sepatu" di Cibaduyut, Bandung atau "kampung tas" di Tajur, Bogor.  Sentra-sentra seperti ini sebaiknya ditularkan ke provinsi lain.

MEA tidak dapat dihindarkan lagi. Akankah industri nasional digilas industri kelas internasional? Bukankah sekarang inipun produk industri dalam negeri banyak yang berfungsi sebagai "tempat produksi" saja, karena merk,  lisensi dan supervisinya dipegang pihak asing? Bagi industri lokal yang masih bertahan, atau yang mau memulai, kunci utama untuk dapat bersaing, sebetulnya adalah kreatifitas. Masalah permodalan akan relatif gampang mengucur, kalau pelaku usaha punya ide cemerlang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun