Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Wartawan Harus Sarjana?

13 Februari 2023   17:28 Diperbarui: 13 Februari 2023   17:36 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BEBERAPA bulan lalu sebuah media online terkemuka di tanahair membuka lowongan wartawan di daerah. Entah disengaja atau tidak, di pemberitahuan itu tak dicantum pendidikan dan usia sebagai persyaratan. Dengan begitu, siapa saja dan usia berapa pun boleh ikut mendaftar.

Awalnya sebagai persyaratan untuk menjadi wartawan yang dibutuhkan adalah skil seseorang dalam mencari dan menulis berita. Bos majalah Tempo, Goenawan Muhamad, dan pendiri koran Kompas grup, Jacob Utama kayaknya cuma dropout perguruan tinggi. Dan jajaran redaksi di kedua media besar itu juga boleh dikatakan pada awalnya kebanyakan belum sarjana.

Aku jadi teringat bagaimana kisahnya sampai bisa menjadi wartawan Tempo. Saat itu sebagian awak majalah ini keluar serempak untuk menerbitkan media baru. Karena kebetulan sedang pulang kampung, aku coba-coba melamar ke Tempo biro Medan. Waktu itu memang masih berlaku perekrutan lokal di majalah Tempo. Senior di sana mengatakan tunggu sepekan lagi menanti persetujuan redaksi di Jakarta.

Aku pun balik ke rumah orangtua. Setiba di Siantar kebetulan ada peristiwa kriminalitas yang menarik. Kuhubungi Biro Medan. Bang Bersihar Lubis yang menerima telepon menyuruh garap. Aku pun bergegas ke kantor polisi. Langsung menemui tersangka pembunuh di ruang tahanan. Nyaris berkelahi dengan polisi penjaga karena nyelonong saja masuk tanpa izin. Maklumlah anak Siantar.  Meskipun sejak tamat SMP sudah hijrah dari kota preman ini.

Setelah bahan terkumpul kubuat berita dan kukirimkan ke Tempo. Tak sampai sepekan kemudian hasil kerjaku sudah dimuat di Tempo. Senang sekali. Sejak itu aku langsung ikut terus membantu Tempo. Janji membantu Nestor Rico Tambunan membuat berita feature di Majalah Sarinah terpaksa kuingkari. Seingatku, sampai kemudian diangkat menjadi karyawan tetap golongan VI di Tempo, tidak pernah ditanya apa pendidikan terakhirku.

Lebih unik lagi kisah tentang seorang seniorku. Sebelum bekerja di Tempo dia lebih dulu masuk Tempo akibat diciduk polisi dengan tuduhan memeras saat masih jadi wartawan lokal. Begitu masuk Tempo karirnya langsung melejit. Meskipun cuma tamat STM dia berhasil mencapai puncak tertinggi, sebagai redaktur pelaksana. Dia membawahi bidang politik dan rubrik lain yang pelik. Bawahannya umumnya sarjana semua.

Tempo memang nyaris tak meneliti latar belakang seseorang. Prinsipnya yang berlalu biarkanlah berlalu. Makanya media ini tetap berani merekut seseorang atau keluarganya yang terlibat G30S PKI. Padahal di rezim Soeharto ini dianggap tabu. Waktu itu ada beberapa wartawan yang terpaksa harus mengubah nama agar jangan ketahuan tidak bersih lingkungan.

Masa penerimaan wartawan harus sarjana baru dimulai  pada 1980-an. Boleh jadi hal ini dilakukan untuk mengurangi pelamar dari SMA. Lulusan perguruan tinggi pun diharapkan nalarnya bisa lebih baik. Jadi bukan karena ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. Waktu itu lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) banyak yang mendaftar menjadi wartawan. Bukan menjadi petani. Dalam bincang-bincang dengan Rusdi Amral, lulusan IPB yang menjadi wartawan Kompas, ia mengatakan IPB sering dipelesetkan menjadi Institut Pleksibel Banget.

Meskipun saat itu para sarjana sudah menjadi wartawan, boleh jadi pada awalnya para redaktur yang belum sarjana selalu mencibir kepada mereka. "Sarjana apaan nih. Nyari dan bikin berita saja masih belepotan."

Namun, sekarang gelar sarjana sudah menjadi semacam keharusan dalam perekrutan wartawan. Lucunya, bisa dihitung berapa banyak sarjana publistik menjadi wartawan. Mungkin mereka lebih nyaman menjadi humas perusahaan atau birokrat. Sementara dari jurusan lain justru memilih di bidang pers. Di majalah Medika yang satu grup dengan Tempo, dokter Nanang lebih memilih jadi pencari iklan ketimbang meneruskan co-ast kedokterannya. Artinya dia bertahan sebagai sarjana kedokteran, tapi belum bertugas sebagai dokter.

Berbeda pula Karni Ilyas. Setelah menjadi wartawan ia baru memulai kuliah di Fakultas Hukum Ekstension Universitas Indonesia (UI) yang kuliah sore dan malam hari. Namun sudah banyak terobosan yang dilakukannya. Bahkan karena merasa digurui, menteri kehakiman Ismail Saleh sempat membuat edaran agar instansi di bawah Departemen Kehakiman tidak boleh melayani wawancara dengan wartawan Tempo. Akibatnya kami wartawan Tempo yang kena imbasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun