Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hoaks dan Ilusi Persepsi: Refleksi Merujuk Analogi Gua Plato

4 Maret 2019   20:29 Diperbarui: 4 Maret 2019   20:44 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Plato (Foto:independent.co.uk)

Masyarakat bahkan sering menerima remah-remah informasi yang telah diolah dan dipelintir demi menjegal kandidat tertentu. Akibatnya, tidak sedikit orang yang terlanjur percaya dan menerimanya sebagai kebenaran.

Inilah yang dinamakan sebagai ilusi perseptual. Merasa dunia ini datar, padahal bulat, merasa bahwa figur ini mampu memenuhi harapan rakyat, padahal cuma hoaks dan pencitraan.

Karena itu, persepsi menjadi inti dalam pertarungan komunikasi politik. Persepsilah yang menentukan seseorang memilih pesan tertentu dan mengabaikan pesan yang lain.

Lalu lintas isu politik ini tentu menargetkan persepsi masyarakat sebagai receiver atau penerima informasi. Untuk itu, dalam proses penerimaan informasi, ada tiga tahap penting yang harus diketahui masyarakat pemilih sehingga tidak terjebak dalam ilusi persepsi.

Pertama ialah pengindraan (sensasi). Melalui alat-alat indra seperti mata, telinga dan kulit, sebuah pesan masuk untuk kemudian dicerna di dalam otak manusia. Mata menerima pesan nonverbal, telinga menerima pesan verbal dan yang tak kalah penting adalah sentuhan seperti jabatan tangan dan pelukan.

Kedua adalah atensi atau perhatian. Pada tahap ini sejumlah informasi diproses secara sadar di dalam otak. Proses atensi membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang informasi tertentu.

Inilah titik yang paling rawan karena perhatian pada informasi tertentu tanpa diimbangi akal kritis bisa melahirkan ilusi persepsi. Pada tahap ini masyarakat harus mampu memilah mana informasi yang benar dan salah.

Ketiga, interpretasi, yakni proses penerjemahaan informasi yang masuk untuk kemudian dipakai sebagai keyakinan. Menurut Wisroni dalam Vanhoten (2006: 17), faktor pembentuk persepsi dibagi menjadi dua yakni internal dan eksternal. Secara internal menyangkut fisiologis, minat, kebutuhan, pengalaman, ingatan dan suasana hati. Sementara faktor eksternal berkaitan dengan karakteristik dari lingkungan dan obyek- obyek yang terlibat di dalamnya.

Ada pula faktor keunikan dan kekontrasan stimulus (Baca: informasi). Stimulus dari luar yang penampilannya sama sekali di luar sangkaan individu akan banyak menarik perhatian. Itulah sebabnya mengapa kabar bohong bisa menguasai persepsi publik. Cara kerjanya seperti iklan yang sering kita tonton di berbagai media. Makin lama diperhatikan makin menjadi keyakinan meski awalnya kita tahu itu bohong.

Karena itu, berhati-hatilah pada figur yang gemar memakai kebohongan dan ujaran sensasional selama masa kampanye ini. Bisa jadi merekalah yang akan menggiring masyarakat ke dalam gua yang penuh ilusi. Di sana, Anda mungkin akan mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan namun cuma bayang-bayang yang tak pernah menyata.

Catatan: Tulisan ini telah ditayang di laman VoxNtt.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun