Dari Perjalanan Hidup yang Penuh Tantangan Hingga Menjadi Kepala Desa Viral, Hoho Alkaf Membawa Harapan Baru untuk Desa Purwasaba
Di sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, ada seorang kepala desa yang menjadi sorotan publik---Hoho Alkaf. Tidak seperti kebanyakan kepala desa lainnya, Hoho dikenal oleh banyak orang karena penampilannya yang unik, dengan tubuh penuh tato. Namun, di balik gambar-gambar tinta yang menghiasi tubuhnya, tersembunyi sebuah kisah perjuangan hidup yang luar biasa dan kepemimpinan yang peduli terhadap masyarakat.
Dari Masa Muda yang Penuh Perjuangan Hoho Alkaf, yang lahir dengan nama Welas Yuni Nugroho pada tahun 1980, berasal dari keluarga sederhana di Purwasaba. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang keras. Ayahnya bekerja sebagai petani, dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang mengurus keluarga dengan penuh kasih sayang. Namun, meskipun mereka hidup dalam keterbatasan, keluarga Hoho selalu mengajarkan pentingnya kerja keras dan ketekunan.
Masa muda Hoho tidak mudah. Setelah tamat SMA, ia merantau ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di kota besar itu, Hoho bekerja serabutan. Mulai dari menjadi buruh pabrik, sopir taksi, hingga menjadi pelayan restoran, ia merasakan berbagai pekerjaan berat demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, pengalaman di Jakarta itu bukan hanya mengajarkan tentang kerasnya hidup, tetapi juga membentuk karakter Hoho yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
"Di Jakarta saya belajar banyak tentang hidup. Kehidupan di sana keras, tetapi saya tahu bahwa setiap usaha pasti ada hasilnya. Saya merasa ini adalah cara hidup saya untuk bertahan," kenangnya.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk Jakarta, Hoho juga mulai menemukan minatnya dalam dunia seni tubuh. Ia mulai tertarik pada tato, yang baginya bukan sekadar gambar atau simbol, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang penuh cerita. Setiap tato yang ia buat di tubuhnya memiliki makna dan sejarah yang mengingatkan dirinya akan perjalanan panjang yang telah ditempuh.
"Tato itu bukan hanya untuk dilihat orang, tapi lebih kepada mengenang setiap fase hidup saya. Setiap gambar memiliki cerita tersendiri, tentang perjuangan dan tantangan yang saya hadapi," ungkapnya.
Keinginan untuk Berubah dan Membantu Masyarakat Setelah lebih dari sepuluh tahun merantau, Hoho memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Purwasaba. Ia merasa bahwa waktunya untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi desanya sudah tiba. Kembali ke desa bukanlah hal yang mudah. Ia datang dengan tangan kosong, tanpa banyak harta, dan hanya membawa pengalaman hidup yang ia peroleh selama merantau.
"Waktu saya kembali, saya merasa seperti orang asing di desa saya sendiri. Banyak hal yang tidak berkembang, dan banyak masalah yang belum terpecahkan. Tapi saya tahu bahwa kalau saya tidak mulai bergerak, siapa lagi yang akan membantu desa ini?" ujar Hoho dengan tekad bulat.