PENDAHULUAN
Destructiveness is the outcome of unlived life - Erich Fromm
Krisis ekonomi global yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah meninggalkan jejak panjang terhadap kehidupan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia. Ketimpangan distribusi kekayaan, pengangguran struktural, dan keterasingan sosial menjadi fenomena yang semakin mengakar, terutama di wilayah urban padat yang mengalami tekanan demografis dan ekonomi secara bersamaan. Dalam situasi seperti ini, kondisi manusia tidak hanya diuji dari sisi ketahanan ekonomi, tetapi juga dari segi eksistensialnya: sejauh mana manusia masih mampu bertindak, berbicara, dan menjalin kehidupan publik yang bermakna di tengah runtuhnya tatanan sosial. Pemikiran Hannah Arendt, dalam The Human Condition menekankan bahwa tindakan manusia (action) dalam ruang publik merupakan inti dari kemanusiaan itu sendiri, namun ruang tersebut kian menyempit dalam masyarakat modern yang terobsesi pada kerja dan konsumsi semata.
Bersamaan dengan itu, riset Sherman, Gartin, dan Buerger, menunjukkan bagaimana kejahatan tidak tersebar merata, tetapi terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu yang disebut Hot Spots, suatu indikasi bahwa ruang-ruang tertentu mengalami kerusakan sosial secara sistemik. Di sisi lain, Wolfgang dan Ferracuti, menjelaskan bahwa kekerasan bukan semata perilaku menyimpang individual, melainkan dapat tumbuh sebagai norma dalam kelompok sosial yang termarjinalisasi dan hidup dalam tekanan struktural melalui Subculture of Violence Theory. Dalam kerangka inilah artikel ini berusaha menghubungkan ketiga teori tersebut untuk memahami kekerasan dalam ruang publik sebagai manifestasi dari gagalnya pemenuhan kondisi manusia secara utuh dalam tatanan sosial-ekonomi yang timpang.
RUANG PUBLIK: DARI TINDAKAN BEBAS KE TITIK KEKERASAN
Ruang publik adalah salah satu fondasi penting dalam kehidupan masyarakat modern karena menyediakan tempat bagi terbentuknya interaksi sosial, kohesi komunitas, dan partisipasi warga negara. Konsep ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga normatif dan simbolik: di dalamnya terdapat nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan dialog antarwarga. Menurut Jrgen Habermas, ruang publik modern lahir dari rasionalitas komunikatif, di mana masyarakat sipil membentuk opini melalui diskusi bebas yang tidak didominasi oleh kekuasaan negara atau pasar. Namun, perkembangan kapitalisme lanjut dan dominasi logika neoliberal telah secara drastis mengubah wajah ruang publik menjadi ruang yang terfragmentasi, terkomodifikasi, dan tidak inklusif bagi kelas-kelas sosial marjinal.
Dalam situasi sosial-ekonomi yang timpang, ruang publik yang kehilangan fungsi integratifnya seringkali mengalami transformasi menjadi ruang konflik, di mana ketegangan sosial muncul sebagai respons terhadap keterasingan dan ketidaksetaraan. David Harvey, seorang pemikir geografi kritis, menekankan bahwa penguasaan ruang secara tidak adil oleh kekuatan kapital menyebabkan "urban marginality" yaitu kondisi keterpinggiran masyarakat miskin di kota-kota besar, yang tidak hanya bersifat material tetapi juga politis. Ketimpangan spasial ini menjadi lahan subur bagi munculnya kekerasan, karena kelompok-kelompok yang terpinggirkan tidak memiliki akses terhadap representasi, perlindungan, atau partisipasi sosial yang bermakna.
Kekerasan yang muncul di ruang publik bukan semata-mata kejahatan individu, melainkan refleksi dari kegagalan struktural dalam pengelolaan ruang dan ketimpangan distribusi kuasa serta sumber daya. Seperti yang dijelaskan oleh Loc Wacquant, dalam studinya tentang ruang urban dan kriminalisasi kemiskinan, Negara modern justru cenderung memperkuat eksklusi sosial melalui aparatus kontrol sosial seperti Polisi dan Hukum Pidana, ketimbang mengatasi akar-akar ketidakadilan. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi arena tindakan kolektif dan ekspresi kebebasan, berubah menjadi zona kekerasan yang direproduksi secara sistemik oleh kemiskinan, diskriminasi, dan minimnya kehadiran negara dalam fungsi kesejahteraan.
Dalam pemikiran Hannah Arendt, ruang publik bukan sekadar tempat fisik, melainkan arena eksistensial di mana manusia menyatakan dirinya melalui tindakan dan ujaran. Tindakan (action) dalam ruang publik memungkinkan pluralitas, kebaruan, dan pembentukan makna bersama yang menjadi inti dari kondisi manusia yang sejati. Namun, dalam masyarakat modern yang ditandai oleh dominasi aktivitas labor (kerja biologis) dan work (pekerjaan instrumental), ruang publik kehilangan fungsinya sebagai tempat kebebasan politik, dan berubah menjadi ruang yang kosong secara makna dan retak secara sosial. Kekosongan ini, dalam banyak konteks urban kontemporer, justru diisi oleh gejala sosial yang merusak, salah satunya adalah kekerasan. Studi Sherman, Gartin, dan Buerger, tentang hot spots menunjukkan bagaimana ruang-ruang publik tertentu di kota mengalami konsentrasi kejahatan secara signifikan, bukan karena faktor individual, melainkan karena degradasi sosial yang kronis dan kegagalan intervensi struktural yang memadai.