Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

La Sape, Ormas yang Rela Gak Makan demi Gaya

2 Februari 2022   14:14 Diperbarui: 16 Juli 2022   18:19 5337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
La Sape. Sumber: theculturetrip.com

Apa itu La Sape? Sebuah kelompok orang di Kongo yang bangga dengan pakaiannya. La Sape sering dipanggil Sapeurs yang berasal dari bahasa slang Perancis, Se Saper itu artinya berpakaian dengan gaya kelas atas.

La Sape akronim dari bahasa Perancis La Socit des Ambianceurs et des Personnes lgantes yang artinyan masyarakat berpakaian yang elegan.

Asal-usul yang jelas mengenai La Sape belum jelas, namun catatan Julette Lyons yang diterbitkan Le Journal International berjudul La Sape: An Elegance That Brought Peace in The Midst of Congolese Chaos mengatakan sejarah La Sape dapat ditelusuri ketika masa kolonialisme Prancis.

Prancis telah memberi pengaruh terhadap cara berpakaian orang Afrika dengan memberi mereka pakaian bekas orang eropa sebagai alat tawar-menawar. Setelah perang dan konflik terjadi di Kongo selama bertahun-tahun, La Sape muncul di Ibu Kota Brazzaville, Republik Kongo.

Sama seperti subkultur lain, La Sape juga memiliki identitas sendiri. Seperti dikutip dari Theculturetrip, orang-orang La Sape memakai jas halus, dasi kupu-kupu warna-warni dan syal. Identitas ini telah diturunkan setiap generasi La Sape.

La Sape tidak hanya didominasi oleh laki-laki tetapi juga perempuan dan anak-anak. Setelah awal 1990-an Sapeurisme telah menjadi identitas budaya di Brazzaville.

Gaya hidup para La Sape terkesan boros dan mahal. Mereka semua berasal dari daerah miskin dan ekonomi sulit, namun gaya hidupnya ingin terlihat kaya.

Mengutip Bank Dunia dari NPR, sekitar 46,5 persen orang Kongo hidup pada garis kemiskinan nasional. Hal itu seperti paradoks orang-orang La Sape. Setengah populasi di Kongo rentan dengan kemiskinan.

Mengumpulkan uang untuk membeli topi bagi para La Sape adalah hal yang lebih penting daripada mengumpulkan uang untuk makan. Fenomena La Sape mungkin menjadi inspirasi bagi beberapa warga Kongo saat mereka mengunjungi pasar, mereka disambut bak selebriti. Hal ini paradoks dari data yang disebutkan di atas.

Para La Sape sangat higienis dan rela membersihkan pakaian-pakaian mereka di tengah krisis air yang melanda Kongo. Ada sebuah obsesi untuk mempertahankan gaya elegan bagi para La Sape.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun